12. Killing Inside

1K 98 105
                                    

"Satu dua tiga empat..."

"Ehhh satu dua tiga empat li..ma.. enam tu.. Hah?"

"Satu... Dua... Tiga.. Empat.. Lima.. Enam... Tujuh... Delapan.. Ehhh!"

Hinata mengusap matanya yang sudah berkunang-kunang.

"Satu dua tiga empat lima enam tujuh dela..pan?"

Iris amethyst itu berputar-putar. Sesekali ke atas menandakan ia sedang berpikir, sesekali fokus ke layar ponselnya untuk menghitung ulang jumlah angka nol di mobile bankingnya.

Hinata melongo saat mengingat arti delapan nol pada rekeningnya itu.

"Apa sekarang aku kaya?" Tanyanya pada dirinya sendiri.

Seumur hidupnya, itu adalah angka yang paling banyak yang ia temui, khususnya di rekeningnya. Sudut bibirnya mulai tertarik keatas, perlahan gigi gigi putihnya muncul dari persembunyian. Ia kaya sekarang?

Hinata mengusap wajahnya. Senyum ceria tercermin di wajahnya. Ternyata tidak sia-sia ia demam selama berhari-hari. Kenapa Kakashi tidak datang lebih awal ke dalam hidupnya?

"Eh? Tidak tidak tidak!"

Hinata mengetuk kepalanya sendiri dengan sudut ponsel hingga ia meringis. Sakit menjalar di kulit kepalanya. Ini lebih baik. Tidak masalah jika kepalanya sakit, setidaknya pikirannya tidak sakit.

Harus ia apakan uang sebanyak ini? Ia memiliki kartu kredit Kakashi yang jika tidak ia gunakan, pria itu pasti akan mengancamnya. Tapi, seingat Hinata ia tidak pernah memberikan identitas Hinata. Entah bagaimana pria itu bisa membuat surat rumah atas namanya dan mengirim uang ke nomor rekening nya.

Lama ia berpikir, bukankah membuat surat rumah memerlukan  identitas pribadi dan kependudukan miliknya?

Hinata tidak mengerti hal lain, kecuali betapa berbahayanya pria itu. Ia tidak perlu bertanya untuk mendapat informasi. Juga tidak perlu meminta untuk mendapatkan sesuatu. Orang seperti Kakashi bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan, tapi kenapa ia justru seolah mengikat Hinata?

Hinata mengirim pesan kepada Hanabi. Sepertinya ia menemukan cara untuk memanfaatkan uangnya.

"Hanabi, ada yang ingin kau beli?"

Tanda online langsung muncul di profil adiknya. Biasanya butuh waktu lebih dari sehari untuk mendapatkan balasan dari adiknya, tapi sekarang tanda mengetik langsung muncul di layar. Begitulah menjadi seorang kakak, tidak ada harganya kecuali memiliki uang.

"Kakak sudah gajian?
Sebenarnya ada beberapa barang yang mau ku beli 😗"

Hinata memutar bola matanya malas. Memang benar jika adiknya hanya mengharapkan uangnya.

"Iya, kirim nomor rekeningmu."

Tanpa perlu menunggu, nomor rekening adiknya sudah tertera di layarnya. Hinata mengirimkan 5.000.000 rupiah ke rekening adiknya. Hinata hampir tidak percaya dengan angka itu, padahal beberapa bulan lalu ia hampir menangis karena membayar taksi dan tidak mampu membayar uang sewa apartemen kumuh. Sekarang ia duduk di sofa empuk di apartemen mewah dan memiliki rekening yang terdapat angka nol yang hampir tidak terhitung jumlahnya.

"Sudah ya, jangan menghambur-hamburkan uang mu. Jangan minta uang lagi sama mama!!"

"Kakakk??? Ini serius?
Kakak tidak jual diri di kota kan? Atau apa itu uang dari om yang ke rumah waktu itu?"

Beberapa emoji tertawa dikirimkan Hanabi. Hinata menggigit bibirnya, ingin sekali ia menjitak kepala adiknya.

"Itu gaji ku, kalau tidak mau kembalikan saja."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang