Pulau-pulau hasil reklamasi satu-satunya pulau yang mampu bertahan dari guncangan nuklir yang menghantam permukaan bumi. Pulau-pulau itu berada di utara Ibu Kota, dibuat sebagai Save House jika sesuatu terjadi pada pemerintahan. Hanya orang-orang penting yang mempunyai akses ke sana. Di pulau-pulau yang diberi nama sesuai abjad dari A sampai Z itu juga didirikan pemukiman bagi orang-orang yang mencari keamanan dan kenyamanan. Dengan biaya yang sangat mahal dan tidak mampu terjangkau oleh kalangan ekonomi kelas menengah kebawah.
Untuk menuju masing-masing pulau hanya bisa ditempuh melalui jalur laut dan udara. Tidak ada kendaraan darat yang bisa mencapainya. Pemerintah sudah benar-benar siap sebelum perang dunia ketiga terjadi. Biaya sekali jalan melalui jalur laut dan udara bisa menghabiskan uang sebanyak satu tahun gaji rata-rata orang Indonesia. Sebelumnya banyak yang menolak reklamasi pulau, karena dapat merusak ekosistem laut dan menghilangkan lahan pekerjaan bagi para nelayan. Pemerintah sempat menghentikan proses pengerjaan selama kurang dari setahun, menunggu semuanya terkendali lalu diam-diam melanjutkan proyek itu.
Pasca perang dunia ketiga tidak ada yang mengetahui keadaan di pulau reklamasi. Saka sempat melihat pulau reklamasi dari daratan Ibu Kota dan tidak melihat tanda-tanda kehidupan disana. Saka adalah salah satu orang yang meneliti dan memfokuskan diri pada proyek terbesar yang pernah dilakukan pemerintah dalam sejarahnya. Alasan adanya proyek itu, punya tujuan apa, dan untuk siapa proyek itu dibuat. Saka bersama beberapa peneliti dari berbagai bidang ilmu itu melakukan penelitian sejak pulau pertama rampung dibuat. Pulau itu hanya memakan waktu kurang dari enam bulan. Sangat cepat untuk ukuran pulau seluas itu.
Kata-kata Popy membuat Mara berpikir sekali lagi. Ada yang aneh, sesaat dia memejamkan mata mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dan dia alami. Mara mencari gambaran dari pertanyaan Popy. Gambaran itu tidak kunjung datang. Mara justru masuk pada dimensi ruang bagian belakang otaknya. Mara mencoba memainkannya, seperti virtual reality, menggeser ke kanan dan ke kiri, seperti kursor mouse pada komputer. Mara melihat ombak besar yang menyapu banyak orang di pinggir pantai. Gambaran itu hanya terjadi sangat singkat berganti ratusan mobil yang terjebak kemacetan. Mara terbangun mendengar suar-suara yang bocor masuk dalam pikirannya.
"Mar, Mar... Maraaa!" Popy menggoyang-goyangkan lengan Mara.
"Kamu kenapa?" tanya Popy, melihat Mara membuka mata, berkedip beurlang kali—mefokuskan pandangan.
"Mar?" Popy meggoyangkan telapak tangnnya di depan Mata Mara.
Mara tampak kebingungan. Tatapan matanya kosong. Pandangannya berubah seperti kamera yang out fokus—blur. Dalam tatapan mata yang blur, Mara melihat orang-orang berlalu-lalang, berlari mencari pertolongan. Padahal tidak ada siapapun di depan mereka. Prajurit Dhanurveda hampir selesai mendirikan beberapa tenda tidak jauh darisana. Popy terus menggoyangkan telapak tangnnya di depan Mata Mara, juga menciptakan suara dengan bersiul dan menggesekkan ujung jempol dan jari telunjuk.
Tidak ada respon dari Mara. Popy meninggalkan Mara sendiri, mengambil satu gayung berisi air. Mara masih dengan tatapan kosong. Tubuhnya kaku seperti patung. Beberapa saat kemudian, Popy kembali membawa gayung dari tempurung kelapa berisi air, menyiramkannya di atas kepala Mara. Sontak Mara terkaget, tubuhnya bergetar sesaat. Mara mengusap wajahnya, mengusir air yang mulai masuk ke matanya. Mara bangkit berdiri, menatap Popy yang memegang gayung.
"Kamu kenapa?" Popy panik.
"Kenapa apa?" tanya Mara, bingung.
"Yaelaah, nggak nyambung nih anak."
"Kenapa, siih?" Mara memotong.
"Kamu melamun, Maraaa," Popy gemas.
"Ohiya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dhanurveda
Viễn tưởngPasca perang dunia ketiga, bumi mengalami kerusakan hebat. Serangan nuklir dari lima negara membabi buta seluruh penjuru bumi, benua dan pulau-pulau terpisah tak berbentuk. Lautan naik drastis. Membelotnya beberapa negara untuk tidak menandatangani...