55.

25 9 7
                                    

Satu ekor ayam goreng tepung buatan Widi ludes dimakan William. Sambil menikmati masakan ayahnya, William bercerita tentang hubungannya yang memburuk dengan Ginny. Pemuda itu mengatakan kalau ia tak bisa marah pada kekasihnya. Bukan karena ia takut, tapi karena menurutnya itu hanya buang-buang energi. Widi menanggapi dengan antusias, walaupun tidak pernah punya hubungan dengan seorang gadis, Widi tahu rasanya patah hati.

“Selanjutnya kamu mau apa?” tanya Widi sebelum menggigit paha ayam goreng.

“Aku tak tahu. Aku sudah telanjur sakit hati. Aku masa bodoh dengan ke mana arah hubungan kami,” jawab William sambil meraih sepotong dada ayam dari piring Widi.

“Oke. Aku harap setelah ini kau baik-baik saja. Kalau butuh bicara, segera hubungi Ayah.” Widi tersenyum pada sang anak. Di piring Widi masih tersisa dua potong ayam goreng. Widi sudah begah makan dua potong ayam goreng sebelum ini. Ia sodorkan piring itu ke hadapan putranya. “Habiskan.”

“Tentu saja!” seru William dengan bahagia.

Tiba-tiba saja Widi teringat dengan masa lalu mereka. Saat itu William berusia lima tahun, Sarah berusia delapan tahun, Jon masih ada di antara mereka. Malam itu mereka akan makan ayam goreng tepung yang dimasak oleh Widi. William yang melihat sang ayah memotong ayam di atas talenan langsung bercerita pengalaman barunya.

“Aku menonton film horor bersama Sarah. Tentang papan ouija, ritual pemanggilan setan, mengerikan sekali, Ayah!” cerita anak gembul itu. “Tapi aku menonton film itu sampai habis.”

“Begitu, ya. Kenapa ditonton kalau mengerikan?”

“Menarik sekali filmnya!” pekik William. “Papan Ouija sangat menarik. Ada alfabet di sana, lalu kata Yes dan No, seperti ....”

Mata William menatap takjub ke arah talenan ouija yang Widi gunakan sebagai alas memotong ayam. Widi menatap ke arah talenannya.

“Wow! Ayah punya papan ouija,” ucap anak itu. “Bisakah kita menghidupkan ayam-ayam yang sudah dimarinasi dengan papan ini?”

Widi mengembuskan napas berat. Kemudian dia tersenyum geli. Ada-ada saja pertanyaan anak ini.

“Enggak bisa, Will. It’s a cutting board. Not an ouija board.”

“Masa, sih?” William menatap Widi dengan tatapan tak percaya dan curiga. “Ayah bohong, ya?”

“Enggak, Will. Untuk apa Ayah berbohong?”

“Oke. Aku mau menonton acara televisi dulu.”

“Jangan menonton film horor lagi, ya.”

“Ya, Ayah.”

William keluar dari dapur menuju ruang tengah. Widi pikir rasa penasaran William berakhir sampai di situ. Ternyata tidak. Saat pukul satu malam ia dan Jon mendengar suara Sarah dan William yang berbisik melewati depan kamar mereka. Kedengarannya mereka akan pergi ke dapur.

“Apa mereka lapar?” tanya Jon yang matanya belum sepenuhnya terbuka.

“Kayaknya enggak, deh. Jangan-jangan ....” ucapan Widi terhenti saat teringat cerita William beberapa jam yang lalu. “Aih! Anak-anak! Ini pasti gara-gara penasaran dengan talenan ouija yang kamu beli itu, Jon!”

“Talenan ouija?!”

“Ya. Mereka menonton film horor tentang papan ouija dan pemanggilan setan. Kita harus kunci akun aplikasi bioskop lagi, deh.”

“Oke. Besok pagi aku kunci lagi akunnya.”

Widi turun dari kasur dan membuka pintu. Ia tak melihat anak-anak di ruang tengah dan yakin sekali kalau mereka sedang ada di dapur. Ia dan Jon menuruni tangga dengan perlahan. Mereka bersembunyi di balik dinding sambil memerhatikan Sarah mengambil talenan ouija dari tempat pisau. Kemudian ia dan William menaruhnya di atas meja makan.

His Love 3 🌈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang