[Sepenggalan] Dibra dan segelas matcha tanpa gula.

54 13 10
                                    


Malang, ia kembali.

Suasana kota masih sama seperti terakhir kali Damar Adibrata meninggalkannya beberapa tahun lalu. Panas, tapi pasti membeku di puncak malam, plat B yang bertebaran di antrean lampu merah, dan kumpulan mahasiswa yang menongkrong di kafe-kafe baru, memesan bergelas-gelas es teh rasa leci dan berbagi sepiring kentang goreng.

Dibra pernah seperti itu enam tahun lalu. Memesan segelas es teh leci dengan ekstra es agar bisa diminum dua kali. Satu saat tehnya masih manis-manisnya oleh sirup gula. Dua saat teh tinggal sedikit dan semua es mencair, sehingga terbuatlah segelas air anyep dengan rasa teh. Hampir tak ada rasa leci lagi, tetapi setidaknya tetap seharga 14 ribu rupiah. Lalu merasakan perutnya kembung sepulang motoran ke kos.

Sekarang Dibra memelajari bahwa memesan minuman tanpa gula lebih baik bagi lambungnya. Sekaligus ia bisa mengetahui mana kafe yang benar-benar menggunakan bubuk matcha berkualitas atau sekadar bubuk susu rasa matcha yang mengecewakan. Siapa barista yang mampu meracik segelas iced matcha latte tanpa gula yang terasa creamy dan terjejak sedikit pahit nan aromatik, bukan segelas susu rasa rumput laut sintetik.

Walau, masih ada yang kurang.

Dibra mengaduk iced matcha latte tanpa gula yang tinggal sedikit, mengambil sesendok untuk dicecap pelan-pelan. Creamy susu dan wangi matcha yang pahit memenuhi ruang mulutnya. Namun, pasti bakal sempurna kalau ada sedikit manis ... kan? Secuil manis yang mampu mengawinkan creamy susu dengan matcha yang pahit, dan Dibra tahu gula apa yang mampu menjadi penghulu sempurna.

Lelaki itu menghela napas. Andai gula pasir Sukara boleh dipasarkan meluas, kafe-kafe di seluruh penjuru Malang akan bersorak. Yang sudah berjaya bakal makin berjaya, dan kafe-kafe kecil takkan gulung tikar secepat itu. Sejumput Sukara membuat tiap minuman menjadi manis setepat selera lidah penyesapnya. Mungkin akan lebih baik lagi kalau Sukara ikut memproduksi simple syrup, kendati Dibra yakin Raya Kesumarta bakal menolak mentah-mentah.

Dibra tersenyum tipis saat mengaduk minumannya lambat-lambat.

Sebenarnya, alasan mengapa Dibra berhenti meminta minumannya ditambahkan simple syrup adalah karena gadis itu.

Gadis yang, sayangnya, Dibra takut untuk temui lagi kali ini, tak peduli seberapa besar geliat keinginannya untuk bertemu lagi. Senyumnya melenyap mengingat ini.

Apa kabar, Raya?

Aku kembali ke Malang.



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Legi Pait: SnippetsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang