8

310 37 31
                                    


Brak...

Joanna menutup pintu mobil dengan kencang. Dia langsung masuk kantor dan memarahi semua orang. Terlebih Hani karena dia yang memang memanggil Jeffrey datang.

"Kalau kalian memang lebih butuh Jeffrey, lebih baik suruh dia saja yang memimpin semua ini! Toh, sejak awal dia yang membawa kalian semua kemari. Jadi silahkan minta pertanggungjawaban dia saat ini!"

Joanna mendekati Hani yang hanya diam saja. Sebab dia tahu jika akan menjadi sasaran kemarahan bosnya. Mengingat dia yang memang memanggil Jeffrey datang. Karena pabrik yang memproduksi produk mereka terbakar, sehingga pesanan yang seharusnya dikirim minggu depan terancam gagal.

"Maaf, Bu. Saya tidak bisa menghubungi Ibu. Saya tidak berani bilang ke Pak Mika kalau pabrik kita sedang terjadi sesuatu. Jadi saya hanya minta alamat agar Pak Jeffrey bisa menjemput. Saya takut Ibu semakin marah kalau saya bilang ke Pak Mika soal itu."

"Kamu bisa datang langsung, Han. Tidak perlu meminta orang itu. Kamu tidak akan melakukan ini kalau masih menganggapku. Kalau memang kamu dan kalian semua masih ingin dipimpin orang itu, aku yang akan mundur. Dia yang akan meneruskan bisnis ini. Karena memang hanya dia yang kalian percaya selama ini!"

Hani menangis. Sedangkan Joanna langsung memasuki ruangan dengan wajah berapi-api. Lalu menghubungi beberapa orang yang berkaitan dengan masalah ini.

Jeffrey yang sejak tadi berada di pintu langsung mendekati Hani dan yang lain. Dia mengatakan jika semuanya akan dalam keadaan baik. Sebab dia sudah mendapatkan pabrik lain yang bisa memproduksi produk mereka dalam satu minggu ini.

Mereka hanya diminta menambahkan estimasi pengiriman selama satu sampai dua hari lagi. Sebab mulai malam ini produk mereka akan diproduksi. Karena Jeffrey sudah membayar penuh biaya produksi menggunakan uang pribadi.

Ceklek...

Pintu ruangan terbuka. Jeffrey melihat Joanna yang sedang menelepon seseorang. Wajahnya pucat. Antara bingung dan ketakutan.

"Jadinya bagaimana? Satu minggu lagi apa bisa? Sudah? Siapa yang bilang? Kok saya tidak dapat pemberitahuan apa-apa? Baru saja? Berarti kami hanya perlu menambahkan estimasi pengiriman saja? Iya?"

Joanna menatap Jeffrey yang sudah berada di depannya. Mereka saling tatap. Namun hanya sebentar. Karena Joanna harus menelepon orang lain sekarang.

"Halo? Kamu sedang di jalan? Sudah membawa sampel juga? Berarti sejak awal kalian sudah dapat solusinya? Sejak setengah jam dapat berita ini bahkan? Oke, kalau sudah selesai langsung pulang saja. Tidak ada agenda lagi sekarang."

Setelah mematikan panggilan, Joanna langsung bangkit dari kursi. Memakai tas jinjing dan berjalan mendekati Jeffrey yang kini masih berdiri di depan pintu. Tanpa mengatakan apapun.

"Sejak awal orang-orang di sini memang tidak butuh aku. Jadi kuserahkan semuanya padamu!"

Joanna memberikan kunci kantor pada Jeffrey. Dia juga sempat menggenggam tangan pria ini. Agar mau menahan kunci.

"Aku sudah tidak mau lagi berurusan denganmu!"

Joanna pergi. Meninggalkan Jeffrey dan para pekerja yang sejak tadi berdiam diri. Mereka tidak berani pindah tempat apalagi bersuara lagi. Karena tahu jika peperangan sedang terjadi.

"Pak Jeffrey? Bagaimana ini?"

Tanya Hani yang memang masih menangis. Dia menatap Jeffrey yang kini keluar dari ruangan sembari mengantongi kunci.

"Aku yang akan handle semua ini sementara. Kalau ada apa-apa hubungi aku saja."

"Lalu Bu Joanna?"

"Dia sedang marah. Jangan diganggu sekarang. Aku yang akan mengurus dia."

Jeffrey langsung pergi. Karena dia harus kembali kerja lagi. Sebab dia juga memiliki pekerjaan lain.

9. 30 PM

Selesai kerja, Jeffrey tidak langsung pulang ke apartemennya. Namun ke rumah orang tuanya. Karena mereka mengatakan jika Joanna ada di sana.

"Di mana dia, Ma?"

Tanya Jeffrey pada ibunya. Karena si ibu yang mengatakan jika Joanna datang ke rumah. Sebab mereka tidak sengaja bertemu di jalan dan wanita paruh baya ini tidak tahan untuk membawa pulang.

Mengingat dia sudah ingin memiliki menantu sekarang. Dia ingin kenal Joanna lebih dekat. Meski pertemuan pertama mereka kurang menyenangkan. Karena penampilan Joanna yang agak berantakan. Namun hal itu tidak membuat dia dan suaminya memandang rendah. Sebab asal Jeffrey suka, mereka tidak masalah.

Mengingat selama ini Jeffrey tidak pernah dekat dengan wanita. Jangankan membawa pulang wanita, dijodohkan saja selalu menolak. Membuat mereka agak khawatir anak mereka suka sesama pria.

Sehingga saat dipertemukan dengan Joanna tiba-tiba, mereka tidak menolak. Mereka juga tidak mempermasalahkan penampilan Joanna yang berantakan. Namun wanita itu yang tampak tidak nyaman.

Bahkan mereka kerap melihat Joanna yang diam-diam mencubit pinggang anaknya. Membuat si anak terkekeh saja selama acara makan. Seolah senang diperlakukan demikian. Karena selama ini memang tidak ada yang pernah berani menyentuhnya.

"Ma, dia di mana? Kenapa bisa datang?"

"Sudah pulang. Kita bertemu di restoran. Kalian sedang bertengkar, kan? Matanya tadi bengkak."

"Kita sudah putus, Ma. Tidak seharusnya Mama bawa dia pulang."

"Putus kenapa? Kalian sudah pacaran lama, kan? Mama dan Papa sudah suka dia dan siap bertemu orang tuanya."

"Ma, aku tidak akan menikah dengan dia. Dia sudah punya pacar baru sekarang."

"Buat putus, lah! Orang baru itu tidak ada apa-apanya dibanding kamu! Mama dan Papa sudah sangat setuju. Orang tuanya juga sudah suka kamu, kan?"

Jeffrey tidak mengatakan apa-apa. Dia langsung pergi dari rumah. Berniat menemui Joanna. Karena ada yang ingin dibicarakan sekarang.

Namun saat tiba di sana, Jeffrey justru melihat pemandangan yang tidak disuka. Pemandangan yang membuat hatinya terasa sakit tiba-tiba. Entah karena cemburu atau hanya merasa kecewa saja.

Iya. Di depan lobby Jeffrey melihat Joanna yang memeluk Mega. Wanita itu menangis sekarang. Entah sesakit apa yang dirasakan.

10 comments for next chapter.

Tbc...

LIFE AFTER BREAK UP [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang