Membangun Kembali Masa Lalu

10 0 0
                                    

“Aku bisa mengingat semua momen kebersamaan kita seribu tiga ratus tahun yang lalu. Kau mungkin tidak akan bisa mempercayainya, tapi semua itu benar adanya. Seolah baru terjadi kemarin, aku masih sangat ingat semua yang terjadi pada kita di masa lalu,” jelas Arina dengan tatapan bersungguh-sungguh.

Tidak ada kebohongan di dalam matanya yang sendu dan mulai berkaca-kaca. Kenangan pahit dan manis yang selalu berputar dalam ingatannya membuat Arina harus memendamnya seorang diri selama ini.

Sementara Remi terdiam tanpa ekspresi. Ia berpikir jika Arina sedang mengada-ngada dan hanya ingin bersama lebih lama hingga harus mengarang cerita. Jelas Remi tidak mau percaya dengan ucapan Arina.

“Jangan mengada-ngada, Arina. Aku sungguh sangat menyukai kebersamaan kita semalam hingga detik ini. Aku pun merasa sangat berat jika harus berpisah denganmu setelah apa yang kita lewati malam kemarin. Tapi aku punya kepentingan untuk kembali pulang, dan aku akan menjadi pria yang jahat jika berjanji akan menemuimu kembali,” ucap Remi dengan emosi yang tertahan. Antara sedih, kesal dan tidak tega untuk menyakiti Arina.

Entah mengapa perasaannya ikut sakit jika harus membuat Arina bersedih. Remi tahu jika ucapannya cukup kejam, tapi mendengarkan cerita Arina yang melantur membuat Remi tidak bisa memakluminya lagi.

Sejak awal, memang ada perasaan aneh dan heran. Bagaimana bisa seorang wanita asing menawarkan bantuan di saat dirinya kesusahan. Bahkan sampai harus menginap dan berakhir suatu kejadian yang tidak pernah terbayangkan oleh Remi sebelumnya.

Namun, keramahan dan kehangatan yang diberikan Arina membuat Remi terlena dan melupakan semua kejanggalan itu. Rasa rindu yang entah sejak kapan ia rasakan membuatnya menerima semua perlakuan baik Arina tanpa menyimpan perasaan curiga sedikit pun.

“Aku tidak mengada-ngada, kita memang pertama kali bertemu seribu tiga ratus tahun yang lalu. Aku tau ini gila dan tidak masuk akal, aku bahkan bingung harus menjelaskannya seperti apa agar kau mau percaya. Tapi aku sungguh bisa mengingat semuanya, dan aku ingin kau bisa mempercayainya,” ucap Arina dengan air mata yang mulai terjatuh.

Sikap Remi yang menolak untuk percaya pada ucapannya sudah bisa ia tebak sebelumnya. Namun, tetap saja saat itu terjadi perasaan sakit dan putus asa membuat hati Arina terluka. Arina sampai tidak tahu harus bicara apa agar bisa meyakinkan Remi bahwa dirinya benar-benar mengingat pertemuan pertama mereka seribu tiga ratus tahun yang lalu.

Namun, keinginan Arina agar Remi percaya membuatnya tidak bisa menyerah dan berhenti sampai di sana. Arina pun teringat pada barang kuno peninggalan Remi di seribu tiga ratus tahun yang lalu padanya. Ia bangkit untuk mengambil barang tersebut, tapi Remi yang sudah tidak bisa mempercayai ucapan Arina memilih bangkit dari duduknya dan pamit pergi.

“Aku tidak mau mendengar apa pun lagi, aku sangat berterima kasih atas semua bantuanmu padaku. Aku ingin sekali membalas kebaikanmu, Arina. Tapi, aku pikir sebaiknya kita tidak bertemu lagi,” ucap Remi dan melangkah pergi ke arah pintu.

Remi yang sebenarnya tidak memiliki uang sepeser pun untuk pulang tidak menghentikan keinginannya untuk pergi. Perasaan terkejut dan tidak terima dengan semua ucapan Arina yang tidak masuk akal baginya membuat Remi sudah tidak memikirkan bagaimana harus pulang. Remi hanya berpikir bahwa dirinya harus cepat-cepat pergi dari sana.

“Tunggu! Aku ingin kau melihat barang yang kau tinggalkan padaku seribu tiga ratus tahun yang lalu. Aku pikir jika kau melihatnya, kau mungkin akan mempercayai semua ucapanku,” ucap Arina menahan kepergian Remi.

Dengan terburu Arina pergi ke kamarnya dan mengambil sebuah kotak berwarna perak yang sudah pudar. Remi sudah membuka pintu, dan Arina menahan tangannya membuat Remi berhenti dan menatap Arina yang sudah menangis dan memohon agar Remi mau mendengarkannya sekali lagi.

“Aku mohon ... lihatlah barang ini, aku sudah menunggu kedatanganmu selama ini. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi,” ucap Arina memohon dengan menangis sendu. Hatinya sudah tidak bisa menahan kesedihan yang mendalam. Kepergian Remi akan menjadikan penyesalan terbesar yang Arina rasakan.

Remi terenyuh, ia tidak tega melihat Arina yang memohon hingga menangis seperti ini. Hatinya ikut bersedih dan terluka melihat Arina seperti ini. Meski pun Remi dilanda keraguan dengan hatinya yang tidak sejalan dengan pikirannya. Membuat Remi mengalah untuk mengikuti keinginan Arina saat ini.

“Apa ini? Kenapa aku harus melihat ini?” tanya Remi dan masih ragu untuk menerima kotak perak itu.

“Kau yang memberikannya padaku, ini adalah barang peninggalan ibumu. Kau memberikannya padaku sebagai tanda bukti cinta kita di masa itu. Mungkin saat kau melihatnya, kau akan merasakan apa yang aku rasakan saat ini,” jawab Arina dengan putus asa. Arina sudah tidak punya pilihan lain, dan ini adalah jalan terakhir baginya untuk bisa meyakinkan Remi.

Remi menatap kotak perak itu dengan ragu, hatinya ingin sekali mempercayai semua ucapan yang dikatakan oleh Arina. Tapi logikanya menentang semua itu, logikanya berpikir jika semua yang Arina katakan tidaklah masuk akal.

Remi menghela napas dan memilih untuk mengikuti keinginan Arina untuk yang terakhir kalinya. Ia berpikir, tidak mungkin pikirannya akan berubah hanya karena sebuah benda yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

Remi pun mengambil kotak perak itu, menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia menatap wajah Arina yang tersenyum dengan penuh harap. Hati Remi kembali merasa bimbang melihat senyuman manis Arina.

Perlahan, Remi pun membuka kotak perak itu. Tampaklah sebuah cincin emas dengan batu delima merah yang tampak sangat tua dan kuno. Remi merasa sesak dalam dadanya, pikirannya kacau melihat cincin itu. Saat Remi mengambil cincin itu, ia merasakan sesuatu yang aneh dalam dadanya.

Sebuah kilasan yang entah datang dari mana membuat Remi langsung mengembalikan cincin itu pada kotaknya dan langsung menutupnya. Memberikannya kembali pada Arina yang berharap penuh pada Remi.

“Tidak, aku tidak percaya dengan semua ini. Arina, aku sungguh meminta maaf padamu. Tapi aku tidak bisa menerima semua hal yang tidak masuk akal ini. Maafkan aku,” ucap Remi dan memilih pergi meninggalkan Arina yang kembali menangis kecewa dan putus asa.

Arina sudah tidak punya jalan lain dan tidak tahu harus bagaimana. Namun, hatinya masih berat untuk melepaskan Remi pergi darinya. Arina yang teringat dengan Remi yang tidak memiliki uang memilih mengejar Remi dan menahan Remi yang hendak menaiki taksi yang Remi hentikan.

“Remi, aku tau kau akan sangat sulit untuk mempercayai semua yang aku katakan. Tapi, pikirkanlah kembali semua secara perlahan. Aku ... akan menunggumu kembali,” ucap Arina dan memberikan beberapa lembar uang pada Remi. Tapi Remi tidak menjawab dan bahkan tidak merespon pemberian Arina.

“Setidaknya terimalah ini untuk ongkosmu pulang. Aku tidak bisa membiarkan kau pulang tanpa membawa apa-apa,” ucap Arina lagi dan memasukan uangnya pada saku di jaket Remi.

Tanpa kata Remi pun menaiki taksi dan meninggalkan Arina yang menangis dengan memandang kepergian taksi yang Remi naiki semakin menjauh dan menghilang dari padangannya.

Udara terasa dingin. Arina menundukkan wajah ke tanah, bayangan-bayangan masa lalu kembali tumbuh dalam ingatannya. Ia tahu ini adalah sebuah permulaan, dan ia telah berusaha. Dia tahu dia masih sama seperti dahulu, masih bukan gadis yang mudah menyerah. Remi harus diingatkan, ia harus tahu bahwa banyak hal yang mesti mereka selesaikan, sebelum ancaman mengerikan yang tak tuntas mereka selesaikan dulu, datang kembali.

"Kau harus tahu, Remi, kau Pangeran Edric yang harus berjuang kembali, meskipun sudah kalah berkali-kali. Dan aku bukan perempuan yang gampang menyerah."

Arina berbicara sendiri, dan suaranya lirih tersapu angin.

Arina dan Pangeran Edric: Petualangan Cinta dan PemberontakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang