Episode 15 (Hampa)

116 1 0
                                    

"Gimana keadaanmu, Cha?"

Indra tengah berada di rumah sakit tempat dimana Acha dirawat.

Acha tersenyum. "Udah lebih baik, Ndra. Makasih karena kamu udah datang." Acha memegang tangan Indra.

Indra terkejut. Ia reflek menepis tangan Acha.

"Ndra?" Acha tak percaya Indra menepis tangannya.

"Ma--maaf. Aku reflek."

Acha tersenyum tipis. Dalam hati ia begitu tak suka pada Aira. Sejak Indra tinggal bersama gadis itu, sikapnya berubah.

Indra melirik jam tangannya. "Udah maghrib. Aku pulang dulu, ya, Cha. Kamu istirahat yang cukup supaya cepat pulih," ujar Indra.

"Tapi aku sendirian, Ndra. Mami aku baru datang nanti jam tujuh."

Indra tersenyum. "Tapi aku harus pulang dulu. Disini kamu nggak sendiri, kok. Ada suster sama dokter yang pantau. Aku juga mau bersih-bersih dulu." Indra berdiri.

"Tapi nanti kamu kesini lagi."

"Mmm ... iya."

"Yaudah, aku pulang dulu. Assalamu'alaikum."

Acha mengernyit. Indra mengucapkan salam?

Indra sedikit terkejut. Ia langsung teringat Aira.

"Assalamu'alaikum?"

"Wa--wa'alaikumussalam."

Indra tersenyum tipis. Ia langsung berjalan keluar dari ruang rawat Acha.

***

Indra menjalankan motornya dengan kecepatan sedang. Semenjak ia mengusir Aira, Indra terasa seperti berbeda. Sebenarnya ia selalu teringat gadis yang masih berstatus istrinya itu. Namun, Indra berusaha menepisnya.

Pernah terbesit ingin tahu bagaimana keadaan Aira. Dimana dirinya tinggal? Apakah ia membawa uang waktu itu? Apakah ia makan dengan benar?

Bahkan Iqbal tetap bersikap biasa saja. Itu artinya Aira tidak menceritakan apapun pada sepupunya itu.

Azan maghrib berkumandang. Pas sekali Indra hampir melewati masjid As-Salam. Masjid dimana Aira dulu mengikuti kajian.

Indra memberhentikan motornya. Entah kenapa, ketika mendengar azan, ia merasa tenang.

Ketika Azan telah selesai, Indra bersiap untuk pergi.

Namun ...

"Assalamu'alaikum,"" ucap seseorang hampir mengejutkan Indra.

Indra menoleh. "Wa'alaikumussalam."

Indra menatap lelaki yang kini tengah tersenyum padanya.

"Ayo bareng-bareng ke masjidnya," ujar lelaki itu.

Sebentar. Bukankah ini lelaki yang pernah mengobrol dengan Aira. Bukan mengobrol, lebih tepatnya yang memberikan kotak nasi waktu itu.

Indra AiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang