NOTE :
Udah mulai masuk ke konflik utama dalam novel kisah nyata ini, yaaa ...
Inti dari kenapa aku memutuskan untuk menjadikan kisah hidupku ini menjadi sebuah novel. Ada pengorbanan terbesar Jansen yang harus semua orang tau. Entah kenapa, aku pengen ngasih tau dunia dengan penuh rasa bangga kalo saat ini aku punya suami seperti dia..
.
.
Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya Jansen melihat seorang pria paruh baya masuk ke dalam halaman rumah Hanny. Pria paruh baya tersebut hanya mendelik sekilas ke arah Jansen dan Sigit, tanpa menyapa kedua anak muda tersebut."Sifat Om Nazar emang kayak gitu. Kamu jangan tersinggung," beritahu Sigit pada Jansen.
"Tenang saja. Saya akan berusaha keras," ujar Jansen sembari bangkit berdiri, kemudian ia segera beranjak menuju ke pintu masuk rumah Hanny.
Di ambang pintu masuk, Jansen bisa melihat Hanny yang sudah menunggunya dengan begitu gelisah. Pria tidak ramah lingkungan itu segera menghampiri Hanny dengan memasang senyum tulusnya.
"Mana Papa kamu?" tanya Jansen sesampainya ia di hadapan Hanny.
"Kita pasti gak akan bisa keluar kalo kamu nekat pengen ketemu sama Papa aku dulu," terang Hanny sembari menautkan alisnya.
"Tidak apa-apa. Saya memang tidak memiliki niat mengajakmu keluar. Yang penting, saya bisa bertemu dahulu dengan Papa kamu," jelas Jansen dengan santai.
Hanny mulai menghela napasnya berat seraya masuk ke dalam rumah untuk menemui Nazar. Ia melihat ayahnya itu sedang duduk di bangku meja makan sembari meneguk secangkir teh hangat pahit.
"Pa, katanya, temen aku pengen ketemu sama Papa," beritahu Hanny dengan sedikit ragu.
Nazar masih diam. Ia sama sekali tidak melirik ke arah Hanny. Gadis tangguh itu mulai sedikit frustrasi. Ia tampak meraup oksigen cukup banyak untuk menghilangkan kegelisahannya.
"Pa, kalo Papa gak mau ketemu sama dia, dia pasti gak akan mau pulang," terang Hanny sekali lagi yang seketika membuat Nazar bangkit dari duduknya.
Pria paruh baya itu tampak berjalan ke ambang pintu masuk. Ia bisa melihat Jansen yang masih berdiri di sana sembari menatap ke arahnya.
"Ada perlu apa?" tanya Nazar dengan sangat ketus pada Jansen.
Jansen sendiri mulai mengulurkan tangannya. "Saya, Jansen, Om."
Nazar hanya menjabat tangan Jansen, tanpa menjawabnya. Tapi, sepertinya Jansen sama sekali tidak tersinggung dengan perlakuan dari ayah kandung Hanny tersebut.
"Kamu boleh berteman dengan putri saya." Nazar kembali bersuara. "Tapi, kamu jangan berharap lebih karena saya tidak menyukai pria seperti kamu."
Jansen lantas tersenyum setelah ia mendengar ucapan Nazar. Sedangkan Hanny yang masih mengintip keduanya dari arah pintu dapur, terlihat semakin menegang.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOULMATE : Our Story
RomanceDeskripsi nyusul, yaa.. intinya ini kisah nyata dan aku berkolaborasi dengan adik iparku.