Kerusuhan Mei 1998

2 0 0
                                    


Kerusuhan mei 1998 Jadi sejarah kelam bagi bangsa Indonesia, pelanggaran HAM secara besar besaran terjadi kala itu. Satu diantaranya yaitu tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa universitas Trisakti pada 12 mei 1998 , sehari setelahnya 13 Mei sampai 15 Mei 1998 menyusul peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM lainnya yang dikenal dengan Kerusuhan mei 1998. 

Dampak dari peristiwa Mei 1998 ini kerap masih tidak disadari atau dipandang sebelah mata walau peristiwa ini mempengaruhi pandangan, respon dan relasi masyarakat etnis Tionghoa dengan masyarakat Pribumi (penduduk etnis lain yang berasal dari Malay archipelago (Setijadi, 2019), dan merupakan penduduk mayoritas sehingga seringkali dianggap sebagai penduduk asli) di Indonesia hingga saat ini, terlebih lagi karena tindakan-tindakan kekerasan tersebut tidak ditindaklanjuti dan diselidiki secara lebih mendalam (Cahyadi, 2019; Christian, 2017. Huda, 2010). Hal ini dibuktikan oleh penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, bahwa beberapa masyarakat etnis Tionghoa yang merupakan korban atau mengalami langsung kerusuhan tersebut mengakui bahwa mereka kesulitan untuk mempercayai masyarakat Pribumi, mengalami trauma dan ketakutan akan peristiwa tersebut, bahwa akan terulang kembali pengalaman tersebut di masa depan (Himawan, 2020; Noviyanti et al., 2019; Salim & Ramdhon, 2020; Sinuhaji, 2017). Beberapa dari mereka juga menutup diri terhadap masyarakat Pribumi akibat pengalaman buruk seperti pembakaran tempat tinggal, pemerkosaan, serta pembunuhan yang mereka alami pada masa itu, terlebih lagi tidak adanya penyelesaian maupun penghukuman yang jelas terhadap para pelaku kerusuhan (Himawan, et al., 2022; Hutahaean, 2014; Winarnita et al., 2020). Dari hasil penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa ada sebagian masyarakat beretnis Tionghoa yang memiliki stigma atau pandangan tertentu terhadap masyarakat Pribumi, bahkan merasa tidak nyaman untuk hidup berdampingan dengan masyarakat Pribumi. Oleh karenanya, penelitian ini ingin melihat perkembangan pandangan masyarakat etnis Tionghoa terhadap masyarakat Pribumi, mengingat fenomena kerusuhan ini sudah terjadi lebih dari 20 tahun yang lalu. Peneliti secara khusus ingin melihat gambaran forgiveness dari masyarakat etnis Tionghoa karena forgiveness dapat mengubah respon dan menunjang kenyamanan korban untuk hidup berdampingan dengan pihak yang menyakitinya, khususnya dengan karakteristik forgiveness yang dikatakan mampu menanggulangi trauma rasial maupun trauma dari kekerasan (Jenkins, 2016; McFarland et al., 2011).


Pengaruh Kerusuhan Mei 1998 Terhadap Etnis Tionghoa terjadinya peristiwa reformasi pada Mei 1998 yang mengakibatkan kerusuhan dibeberapa wilayah, disebabkan karena terjadinya krisis monoter di Indonesia. Keadaan tersebut membuat masyarakat panik karena berakibat pada kelangkaan barang kebutuhan pokok, sehingga membuat harga barang menjadi naik. Kepanikan juga dirasakan oleh para investor secara mendadak mereka melakukan penjualan saham di Bursa Efek Jakarta untuk menghindari kerugian. Hal tersebut mengakibatkan cadangan devisa tidak cukup dan dalam tempo singkat nilai rupiah semakin turun. Perusahaan industri barang elektronik terpaksa menghentikan operasinya. Situasi tersebut perpengaruh pada peningkatan PHK (Pemutusan Hak Kerja) dan pengangguran di Jakarta (Titulanita dkk, 2015). Adanya sentimen anti Tionghoa bermuara pada kekerasan yang dilakukan oleh kelompok pribumi, hal ini tidak terlepas pada sentimen sosial berjalan seiring dengan masalah kesenjangan ekonomi. Dibalik sentimen ini terdapat prasangka yang terus hidup dan bahkan sengaja dihidupkan dengan tujuan tertentu (Darini, 2011). Latar belakang terjadinya kekerasan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia yaitu: (1) Kehadiran etnis Tionghoa di Indonesia dianggap sebagai the others dalam masyarakat Indonesia dan memiliki kedekatan dengan penguasa yang menyebabkan orang Tionghoa menikmati kekayaan secara tidak adil yang memicu kecemburuaan sosial. Maka jika terjadi prilaku etnis Tionghoa yang tercela, hal ini memicu kekerasan dan kemarahan dari kelompok pribumi. (2) Kebijakan dari kolonial sampai orde baru dijadikan sebagai kambing hitam atau korban jika dibutuhkan untuk mengalihkan masalah. (3) Isu rasila dan etnis dihembuskan oleh penjajah dan penguasa untuk memepertahankan kekuasaan dan memelihara perpecahan. Penguasa takut adanya persatuan antar etnis yang membawa perjuangan menentang ketidakadilan (Sin, 2005).  Target dari kerusuhan reformasi 1998 yaitu para etnis Tionghoa, dimana banyak toko dan rumah milik orang Tionghoa dijarah dan dibakar, selain itu mereka juga mengambil barang jarahan dari toko-toko tersebut. Demikian juga sejumlah mall seperti, Supermall Karawaci, Glodok Plaza, Yogya Departement Store Klender, Bank Central Asia ditarget sebagai tempat kerusuhan. Sekelompok massa pada umumnya terdiri dari kaum dari segala usia, baik dewasa, remaja maupun anak. Kerusuhan dipimpin oleh sekelompok provokator yang berusaha untuk mengarahkan serbuan massa pada perusahaan dan toko miliki orang Tionghoa. Sekelompok massa juga memaksa turun orang Tionghoa dari transportasi yang ia naiki lalu dipukuli beramai-ramai sambil merampas barang, lalu seorang laki-laki dan perempuan dilempari batu oleh massa sampai luka berat dan akhirnya diselamatkan oleh aparat TNI (Woodrich, 2012).

Dampak Kerusuhan Mei 1998 Terhadap Etnis Tionghoa Kekerasan massa juga terjadi di Surabaya, Lampung dan Palembang namun tidak separah di Jakarta dan Surakarta. Dampak yang terjadi pada etnis Tionghoa setelah menjadi korban kerusuhan reformasi 1998 yaitu, para pedagang etnis Tionghoa mengalami trauma yang mendalam. Dampak psikologis terjadi pada para korban dari kekerasan seksual, mereka mengalami gangguan kejiwaan, trauma jika bertemu laki-laki, bahkan mengakhiri hidup mereka. Dampak perkonomian nampak pada kerugian material bangunan seperti, toko, swalayan, dan rumah akibat penjarahan, peruskan dan pembakaran oleh massa (Titulanita dkk, 2015). Para pemilik toko yang mengalami kerusakan dan kebakaran, mereka tidak berani membuka toko kembali dalam beberapa hari, mereka khawatir peristiwa pengrusakan dan pembakaran terulang kembali. Dengan keadaan tersebut pendapatan mereka mulai turun dan banyak yang kehilangan pekerjaan dikarenakan gedung-gedung atau tempat kerja mereka rusak terbakar (Noviyanti dkk, 2019). 

Kesimpulan Sejak kedatangan masyarakat minoritas etnis Cina ke Indonesia pada 1293, usaha pemerintah dalam program asimilasi untuk menyatukan etnis tersebut dengan masyarakat pribumi ternyata tidak berhasil, mengakibatkan kesenjangan ekonomi dan eksklusivisme yang memicu prasangka negatif dan kekerasan, mencapai puncaknya dalam kerusuhan Mei 1998 setelah krisis ekonomi. Kurangnya responsif pemerintah terhadap krisis tersebut dan provokasi dari pihak-pihak tertentu memperburuk situasi, mengarah pada penyalahgunaan terhadap etnis Cina. Untuk mencegah hal serupa, pemerintah perlu bersikap netral dengan memberikan kesempatan yang sama pada etnis Cina di berbagai bidang, memastikan kesetaraan dalam segala urusan, dan memperbaiki sistem pemerintahan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. Pendidikan juga perlu mempromosikan solidaritas sosial, menghapus perbedaan antar kelompok, dan menghargai pluralitas. Melalui kebijakan ekonomi yang inklusif, partisipasi masyarakat dalam pembangunan, serta penjelasan transparan tentang kontribusi etnis Cina pada negara, prasangka negatif dapat diatasi untuk menciptakan harmoni sosial yang lebih baik.

Sumber Referensi 

Darini, R. 2011. KEBIJAKAN NEGARA DAN SENTIMEN ANTI-CINA: PERSPEKTIFHISTORIS. Dari :http://staffnew.uny.ac.id/upload/132233219/penelitian/kebijk+neg+thd+etnis+tiong-ISTORIA.pdf

Kartasasmita, G. 2011. PERISTIWA MEI 1998: A STUDY OF ANTI-CHINESEVIOLENCE IN GLODOK DISTRICT, WEST JAKARTA. Skripsi diterbitkan,Universitas Indonesia. Dari http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20270488-D%201172-Peristiwa%20Mei-full%20text.pdf. 

Sin, S.K. 2005. ETNIS TIONGHOA KRISTEN PASKA KERUSUHAN MEI 1998,JURNAL THEOLOGIA ALETHEIA, 8(15). 45–98. Darihttps://www.researchgate.net/publication/337757490_Etnis_tionghoa_kristen_paska_kerusuhan_mei_1998 

Woodrich, C.A. 2012. Pengaruh Kerusuhan Mei 1998 Dalam Novel Putri Cina KaryaSindhunata. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Darihttps://repository.usd.ac.id/25510/. 

https://r.search.yahoo.com/_ylt=Awr1QZVWnHZmNZ8XACjLQwx.;_ylu=Y29sbwNzZzMEcG9zAzIEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1719078102/RO=10/RU=https%3a%2f%2fnasional.tempo.co%2fread%2f1462239%2fkerusuhan-mei-1998-sejarah-kelam-pelanggaran-ham-di-indonesia/RK=2/RS=2UbGF3yAPb4wZxUVtcOy9iWY54Y-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kerusuhan Mei 1998Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang