BAB 8. PENYERBUAN DI DESA WONGGANG

3 3 0
                                    

BAB 8.
PENYERBUAN DI DESA WONGGANG

Saat menikmati menu unggulan, Tak Punya Nama melihat seorang gadis cantik mungil - agaknya - bersama kedua orang tuanya yang sedang menikmati pesanannya mereka.

Gadis itu nampak selalu berwajah gembira dan murah senyum, bahkan saat melihat Tak Punya Nama ia juga membuka senyumannya kian manis dan mewujudkan pipinya untuk menampilkan lesung pipit yang menawan, "Siapa Anak Tampan mendekati cantik itu? Kulitnya putih kemerah-merahan - yakin, pasti lembut dan wangi alami - Rambutnya hitam bergelombang berkilau. Tapi mengapa ia sendirian? Ia mirip Pangeran, seyogyanya ada pengawal, pelayan, guru, atau sedarah seniornya yang menyertai perjalannya? Hm... aku tebak usianya kalau tidak sekitar sebelas tahun - seperti usiaku ini - ya, mungkin dua belas tahun!" Pikir si Jelita Lesung Pipit.

Ia telah beberapa kali menganggukkan kepala kepada Tak Punya Nama. Padahal belum saling kenal.

Tak Punya Nama menanggapi dengan anggukan kepala lembut, hampir tidak kentara, dengan sorot mata kehangatan dan keakraban serta memancarkan aura kewibawaan pribadi yang agung.

Tak Punya Nama cukup heran, bahwa betapa merdeka jiwa si Gadis Mungil Jelita itu, nampaknya sudah menjadi karakter dirinya yang senang bergaul dengan orang-orang baru yang belumn dikenal. Tentu ia punya Naluri Batin yang tajam peka untuk mengerti watak sejati dari yang ia coba ajak kenalan ataupun persahabatan.

Ini pertanda ia memiliki kejeniusan spiritualitas yang mampu menangkap aura digdaya arus kebenaran, aura kejeniusan naluri batin pihak lain, atau mampu menangkap aura kejahatan ataupun akan terjadinya suatu peristiwa yang disebabkan kekuatan jahat.

Tak Punya Nama mendengar si Mungil Cantik Jelita itu berbisik,
"Ayah, naluriku mengatakan bahwa akan terjadi sesuatu yang jahat di desa ini!"

Ayahnya menatap ke anaknya dengan penuh pengertian, iapun juga berbisik dengan lembut, "Seperti biasanya, kamu mesti berada di dekat ayah-ibumu dan jangan bertindak sendiri tanpa ijin dari kedua orang tuamu ini!"

"Baik Ayah. Terima kasih." Suara lirih si Gadis Mungil itu.

Ibu Gadis Lesung Pipit itu hanya menjadi pendengar bijak dan dengan senyum lembut menatap teduh suami dan anaknya.

Kemudian mereka bertiga dalam diam yang santun melanjutkan ritual santapannya sepenuh khidmat.

Bagaikan menikmati santapan dalam suasana yang nyaman dan aman di suatu ruang makan keluarga sendiri.

************

Tak Punya Nama mendengar semua itu, kemudian ia melihat bahwa suasana rumah makan semakin mendekati tengah hari, semakin ramai pengunjung.

Mereka semua tertib sabar menunggu proses pesanan mereka datang di mejanya.

Para pelayan pun senang menyaksikan kesabaran menunggu para pelanggannya, sehingga lebih semangat sibuk melayani tamu-tamu yang datang membanjir.

Sungguh para pelayan rumah makan yang lincah cekatan, terampil, dan penuh sikap kehangatan hati, hormat dan ramah.

Selain dari pada itu...

Nampak datang Petugas Keamanan Desa Wonggang yang biasanya keliling kontrol desa, termasuk periksa keamanan di Penginapan Padi Kuning dan melihat ke dalam ruang makan sejenak, lalu keluar lagi dan berbincang dengan Kepala Keamanan Penginapan Padi Kuning.

Tak lama dari perginya Petugas Keamanan Desa Wonggang, pengunjung ruang makan mendengar gemuruh derap ratusan kuda melaju memasuki lapangan rumput dan ada beberapa pemimpin kelompok berkuda menyeberang jalan kemudian berhenti di depan Gerbang Gedung Kepala Desa seraya berteriak lantang, "Desa Wonggang akan menjadi Markas Besar Kedua untuk Sekte Darah Hitam! Yang setuju masuk Sekte Darah Hitam boleh tinggal dan selamat! Bagi yang tidak setuju bergabung dengan Sekte Darah Hitam, maka pada hari ini juga wajib mati!"

Saat itu juga Kepala Desa, Kepala Keamanan Desa, Kepala Urusan Desa, Kepala Bendahara Desa, dalam sekejap mata telah berada di depan Gerbang Benteng Gedung Besar tersebut, "Berani-beraninya kalian semua menggonggong di daerah wewenang kami, setidak-tidaknya kalian tentu sudah tau bahwa kami ini memiliki hubungan darah keluarga besar dari Klan Ginggala, Penguasa Lima Puluh Delapan Wilayah! Apa kalian hanya memandang sebelah mata kepada Klan Ginggala, heh!?" Kata Kepala Desa dengan suara bariton penuh kewibawaan yang disertai pancaran gelombang Hawa Sakti Ginggala.

"Siapa kamu? Sok berkuasa di hadapanku? Aku ini Lebong Junggara sebagai Duta Sekte Darah Hitam yang diberi kuasa untuk membunuh atau mengampuni orang-orang seperti kamu dan kelompokmu ini!" Kata orang kurus kerempeng tinggi dengan mata elang penuh cahaya mata licik.

Sedangkan tujuh orang yang bersama
Lebong Junggara hanya manggut-manggut penuh kecongkakan dan sangat percaya diri sebagai kelompok penguasa penentu hidup-matinya orang lain.

"Saya Kepala Desa Wonggang! Siapapun yang mengganggu dan mengancam ketertiban dan keamanan Desa Wonggang, hanya ada dua pilihan. Pertama, segera menyerah untuk dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah. Atau...pilihan kedua, melawan yang berarti musnah!" Bentak Kepala Desa seraya melotot matanya memancarkan cahaya dingin menggidikkan hati.

Lebong Junggara menghentak kudanya yang tinggi besar agar maju dua langkah ke depan,"Hua ha ha ha ha ha! Mayat, mayat, calon bangkai! Aku dan anak buahku tidak memilih keduanya itu. Kami hanya memilih membantai Seluruh Penghuni Gedung Besar ini! Alasannya, sudah jelas kalian melawan Sekte Darah Hitam! Mampuslah!"

Seketika Lebong Junggara si Pemimpin Penyerbuan ke Desa Wonggang, ia menjulurkan kedua tanganya ke depan dada seraya menggetarkan hawa saktinya ke arah
Empat Orang Berdarah Klan Ginggala.

ANAK YANG DISEGEL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang