4 - sara lu

1.1K 58 2
                                    

"Sekarang udah punya nyali ternyata? Dulu kamu putuskan aku sepihak lewat pesan dan langsung menghilang," Adam memutar kursi, kembali menghadap depan. "Ra, asal kamu tahu. Aku bukan orang yang bisa kamu datangi terus pergi seenaknya."

"Permisi pak," tiba-tiba suara pelan seorang pria mengagetkan Adam yang tengah duduk di kursi barber vintage dari Takara Belmont berlapis kulit asli dengan detail krom satu-satunya di sana. Sontak raut wajah Adam kembali diatur profesional.

"Gimana hasilnya, sudah sesuai?" tanya barber di sana, setelah tadi meninggalkan Adam sejenak. Seorang pria berusia akhir 30 an namun dengan rambut klimis begitu sempurna hingga bisa membuat orang berpikir dia tidur dengan gel rambut di malam hari dan pakaian modis masih terlihat sepuluh tahun lebih muda.

Sore ini Adam berada di ruang private The Gentleman's Den. Ruangan beraroma wangi mahoni dan lilin aromatik, sementara suara lembut jazz instrumental mengisi udara. Barbershop The Eden Hotel, yang lebih mirip ruang rapat bisnis daripada tempat cukur biasa dengan layanan unggulan classic cut, royal shave, beard grooming, hair and scalp treatment, signature hair styling, dan layanan tambahan seperti shoeshine service, hot towel treatment, dan massage chair. Setelah pagi tadi golf di Grand Island Golf Club—lapangan golf milik salah satu hotel di pusat kota. Di sanalah ia bertemu dengan kolega-kolega dari berbagai industri—bankir kelas atas, investor yang mengendalikan miliaran dolar, serta pewaris kekayaan yang hidupnya didorong oleh dinamika pasar saham dan venture capital.

Mereka mengobrol tentang perkembangan terbaru di industri perhotelan, membahas peluang akuisisi, serta mempertimbangkan investasi baru. Tentu saja, pembicaraan ini juga tak lepas dari diskusi tentang kehidupan sosial mereka. Walaupun sejujurnya ia lebih suka bermain basket daripada memukul bola golf. Baginya, basket lebih mengingatkan pada masa-masa di mana hidupnya tidak selalu terikat oleh jadwal dan banyak ekspektasi—remaja. Tapi di lapangan golf inilah keputusan-keputusan bisnis besar sering kali diambil.

Adam berhadapan dengan refleksi dirinya, melihat gaya rambut disisir ke belakang yang dipotong rapi mengenyahkan rambut cukup panjangnya dan yang paling penting janggutnya juga telah sirna. Ia mengusap rahang dan dagunya yang terasa halus kemudian mengangguk, "Sempurna, Pak Ben. Seperti biasa, anda nggak pernah mengecewakan."

"Saya juga senang jadi langganan Pak Adam," jawab pria ber jas kasual gelap yang ditutup apron kulit kustom berinisial 'B' disulam benang emas, ciri khas Pak Ben.

"Cari yang dekat saja."

"Jauh beda dengan gaya biasanya, ya."

"Menjelang akhir tahun, mau ganti tahun harus ada perubahan."

Pak Ben balas tertawa karir dan mengangguk sebelum Adam berjalan melewati ruang tunggu yang terdapat majalah mode dan lifestyle seperti GQ dan Esquire. Ia keluar dari barber yang terletak di lantai pertama hotel, berdekatan dengan lobi utama supaya mudah diakses oleh tamu hotel, sudut tenang yang memberikan privasi dan kenyamanan bagi para tamu. Kemudian berjalan lewat lobi utama, menampakkan arsitektur modern karya seorang peraih Pritzker Prize dengan interior hotel didesain salah satunya oleh Jaya Ibrahim—jauh sebelum wafat di 2015. Dan pastinya ada lukisan Hendra Gunawan yang selalu menjadi pusat perhatian tamu-tamu kaya yang ingin merasa sedikit lebih berbudaya.

 Dan pastinya ada lukisan Hendra Gunawan yang selalu menjadi pusat perhatian tamu-tamu kaya yang ingin merasa sedikit lebih berbudaya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
A Sweeter PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang