6 - the truth is

866 53 1
                                    

Adam melenguh tak nyaman. Tempatnya tidur tidak seempuk biasanya—salah satu sofa di ruang tamu, rancangan artis kontemporer yang hanya terlihat bagus di galeri, tetapi sangat tidak ramah bagi punggungnya. Ia membuka mata perlahan sebelum merasakan pusing. Kilat peristiwa tadi malam mendadak seolah masuk ke ingatan, mengingatkannya pada pelajaran yang sangat berharga. Minum anggur mungkin bukan ide terbaik, terutama jika belum makan apa-apa selain hors d'oeuvres yang lebih mirip pajangan daripada makanan. Hingga kemudian barulah ia sadar telah tertidur di sofa dengan selimut melingkupinya.

Sara?

Adam berusaha duduk kemudian mencari ponselnya yang entah bagaimana terselip di antara bantal-bantal berukuran raksasa. "Halo?" suara serak bangun tidur yang khas tapi lebih cocok untuk iklan minuman keras terdengar kala ia menelepon resepsionis resor. "Iya, Sara gimana? Apa udah check out? Trus dia dimana?" Adam kemudian bersandar di sofa sambil memijat kening. "Ok. Thank you."

Kakinya ia paksa melangkah masuk ke ruang tengah yang kosong. Pria itu lebih terlihat seperti bintang sinetron yang kehilangan ingatannya dalam episode yang tragis. Sampai di sebelah ruang tengah yakni dapur, Adam melihat segelas jahe panas, madu, dan roti gandum dengan alpukat di meja makan. "Sara!" panggilnya nyaring. Mencari keberadaan Sara dengan harap masih ada di rumah ini. Setengah teringat sesuatu, Adam segera menghubungi sekretaris yang selalu bisa diandalkan, Tony. "Sara dimana?"

"Lah, mana gue tau. Kan gue bawa ke rumah lo semalem," jawab Tony.

Adam mendesah pelan.

"Ada bonus bos?"

"Sara aja belum ketemu."

"Iya, ini gue bantu cari."

Kemudian setelah telepon ditutup, Adam kembali memanggil Sara sembari berkeliling. Hingga tak lama pintu kamar mandi dekat dapur terbuka, menampilkan Sara dengan gaun yang sama seperti semalam.

"Kenapa?" tanya Sara. Ia heran melihat Adam dengan rambut tak beraturan, kemeja kusut dengan dua kancing atas terbuka. Kemejanya miring ke sisi kanan, intinya berantakan.

Adam segera mendekat. Berjarak satu meter dari Sara merasa seolah-olah ada tembok tak terlihat di antara mereka, ia berhenti. "Kamu dari mana?"

"Mandi."

Kedua tangan Adam menggantung kaku, berusaha menahannya. 

Mereka bersitatap yang lama kelamaan Sara rasa canggung sehingga ia meninggalkan Adam ke dapur.

Adam tak berhenti mengamati. Sara. Barefoot. In his house. "Mau kemana?"

"Kemana? Aku di sini."

"Stay where you are," kata Adam yang terdengar lebih seperti bos yang khawatir karyawannya akan kabur.

"Oh? Okay?"

Seketika itu pula Adam berjalan cepat menaiki tangga dengan pohon di tengahnya, alih-alih lift, menuju ke lantai atas yang terdapat kamarnya, sebentar sebelum kembali ke meja makan dengan celana selutut dan kaos pendek. Duduk berhadapan dengan Sara untuk sarapan.

"Cepat banget," komentar Sara karena Adam yang datang secepat kilat dari kamar.

"Apanya?"

"Ke kamar."

"Nanti kamu pergi lagi."

"Nowhere to go." Ya, kemana lagi ia bisa pergi? Ini tujuan terakhirnya.

A Sweeter PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang