Pagi itu, sinar matahari merembes lembut ke dalam toko barang antik, menciptakan nuansa keemasan di antara tumpukan benda-benda kuno. Dae Jung dan Ryo sibuk memeriksa koleksi toko, memastikan semuanya siap untuk pameran akhir pekan yang akan datang. Rak-rak kayu diisi dengan jam saku kuno, perhiasan vintage, dan patung dari berbagai era, semuanya memancarkan cerita dari masa lalu.
“Kita benar-benar perlu memeriksa semua ini sebelum pameran,” gumam Ryo sambil mengelap lampu minyak antik. “Ayah Yeon Seok ingin semuanya terlihat sempurna.”
Dae Jung tertawa kecil, meletakkan beberapa kotak kembali ke tempatnya. “Toko ini adalah kebanggaan dan kegembiraan keluarga Yeon Seok. Setidaknya kita bisa melihat barang-barang keren setiap hari.”
Aroma kayu tua dan lilin lebah memenuhi udara, menciptakan suasana nostalgia. Rak-rak kayu berderit pelan di bawah beban koleksi barang antik yang berusia puluhan hingga ratusan tahun.
Bel pintu berdenting, menandakan seseorang masuk. Dae Jung menoleh dan melihat Yeon Seok masuk, wajahnya sedikit lelah namun penuh semangat. Di sampingnya berdiri seseorang yang tidak asing.
“Hai, apa kabar?” sapa Yeon Seok dengan senyum lebar. “Aku membawa seseorang yang kalian kenal.”
Hao Jun melangkah masuk, tampak sedikit canggung namun dengan senyum malu-malu. “Hai,” sapanya pelan. “Maaf kalau aku mengganggu.”
Dae Jung dan Ryo terkejut sesaat, lalu tersenyum lebar. “Hei, tidak ada masalah,” kata Ryo. “Senang melihatmu lagi. Bagaimana kabarmu?”
“Aku baik,” jawab Hao Jun, melangkah masuk dan mengamati toko dengan mata penuh rasa ingin tahu. “Yeon Seok bertemu denganku di jalan dan mengajakku ke sini.”
“Selamat datang di toko barang antik kami,” kata Dae Jung, mengarahkan tangannya ke barang-barang antik di sekitar mereka. “Jangan ragu untuk melihat-lihat.”
Hao Jun berjalan perlahan di antara rak-rak, memperhatikan setiap detail dengan kagum. Di sudut ruangan, sebuah piano tua menarik perhatiannya. Ia mendekat, jari-jarinya dengan lembut menyentuh tuts yang telah menguning.
“Kau suka piano?” tanya Yeon Seok, mendekatinya.
Hao Jun mengangguk pelan. “Iya, aku suka bermain piano. Piano ini terlihat sangat tua.”
Mata Dae Jung bersinar dengan antusiasme. “Kau bermain piano? Aku juga! Piano itu dari era Victoria. Ayah Yeon Seok membelinya dari seorang kolektor di Inggris.”
“Kau bisa mencobanya jika mau,” tambah Ryo. “Kami jarang mendengar suara piano di sini. Pasti menyenangkan mendengar seseorang memainkannya.”
Hao Jun duduk di bangku piano dan mulai memainkan beberapa nada. Setelah sejenak merenung, dia memainkan Clair de Lune karya Claude Debussy. Melodi lembut dan melankolis mengalun dari tuts piano, mengisi toko dengan suasana tenang yang penuh keindahan. Setiap nada membawa kehangatan dan nostalgia, seakan menyelimuti ruangan dengan cerita dari masa lalu.
Ryo dan Dae Jung berhenti bekerja, terpesona oleh melodi yang mengalun. Mereka saling bertukar pandang, kagum pada keahlian Hao Jun.
Yeon Seok duduk di kursi di dekatnya, matanya terpejam menikmati musik. “Kau sangat berbakat,” katanya pelan ketika Hao Jun menyelesaikan lagu itu.
Hao Jun tersenyum malu-malu. “Terima kasih. Aku biasanya tidak bermain di depan orang banyak.”
Saat dia berdiri, matanya tertuju pada sebuah cello tua yang tersimpan di sudut toko, di samping rak buku tua dan patung-patung kayu. Alat musik itu tampak berdebu dan terlupakan, namun bentuknya yang elegan tetap menarik perhatian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny's Stage: The Epic Saga of Five Stars
Fanfiction"Destiny's Stage: The Epic Saga of Five Stars" mengikuti perjalanan lima individu yang berbagi impian yang sama: menjadi idola yang diakui di seluruh dunia. Dae Jung, Yeon Seok, Jiho, Ryo, dan Hao Jun adalah lima remaja biasa yang bertemu di jalanan...