Siang itu Naida sedang sibuk membuat pesanan risol mayo dari Bu RT sebanyak tujuh puluh buah. Tangannya lihai mengaduk-aduk adonan seketika terkejut kala terdengar suara gedoran pintu yang membabi buta. Suara gedoran itu berasal dari pintu kontrakan sebelahnya alias kontrakan Arif.
Siang hari bolong begini kenapa tiba-tiba ada manusia tak beradab.
"Heh! Ketok pintunya biasa aja kali, nggak usah gedor sampe kencang-kencang! Tetangga keluar bisa abis lo di sini enggak bisa pulang!" Naida yang memakai daster tosca bunga-bunga itu sudah mirip sekali dengan emak-emak yang sedang memarahi anaknya yang suka kelayaban tengah hari bolong.
"Maaf, Ibu tau orang yang ngontrak disini sedang kemana, nggak?" Alih-alih meladeni amarah Naida, pelaku yang tersangka menggedor pintu itu justru bertanya yang membuat Naida semakin kesal karena orang itu memanggilnya Ibu.
"Lagi di bengkel kali!"
"Saya telepon nggak di angkat, Bu."
"Nggak tau! Bukan urusan saya dia kemana!" Malas melihat wajah laki-laki asing yang mengganggunya di siang bolong ia masuk ke kontrakan melanjutkan kembali aktifitas mengaduk adonannya.
Naida benar-benar tidak mengira jika laki-laki itu akan datang ke kontrakannya untuk menghampirinya.
"Tolong saya dong, Bu. Cariin Arif, saya ada perlu sama dia. Penting."
"Yang butuh dia kan kamu! Ya kamu cari sendirilah si Arif lagi dimana." Naida yang sudah kembali duduk di hadapan adonan mendongak untuk bisa berbicara dengan orang asing di depan pintunya.
Laki-laki itu terdiam sejenak. Naida segera mengambil ponsel miliknya yang tidak jauh dari jangkauan tangan kirinya. Ia mencoba untuk menelepon Arif. Empat kali ia memanggil tidak ada jawaban.
"Kalo nggak gini deh, Bu. Berhubung kata Ibu tadi Arif lagi di bengkel, kita coba ke bengkelnya Arif ya, Bu. Ibu temani saya ke bengkel Arif, soalnya saya nggak tahu dimana bengkelnya." Ia seolah tahu jika Naida kesulitan untuk mendongak karena posisinya yang berdiri menjulang. Akhirnya ia merubah posisinya menjadi jongkok dan kembali jelas melihat anak rambut di dahi perempuan itu cukup berantakan.
"Enggak mau! Saya sibuk! Lihat nih adonan saya terbengkalai gara-gara kedatangan kamu yang bikin ribet! Per....!" Ucapan terakhirnya terhenti karena tangan yang semula memegang baskom berisi adonan di genggam erat lalu badannya dibangunkan dengan paksa kemudian di seret keluar kontrakan, hingga akhirnya ia terduduk dengan kaku di dalam jok mobil milik laki-laki itu.
Sialan! Bagaimana jika yang di balik kemudi itu bukan seseorang yang Arif kenal, bisa saja ia mengaku-ngaku sebagai orang yang mengenal Arif padahal ingin menculiknya.
Eh, Menculik? Memangnya seorang Naida punya sesuatu yang berharga sampai bisa diculik?
*______*
"Kamu lagi di mana, Mas?"
"Aku lagi cuci mobil di tempat pencucian mobilnya Arif, nih. Kotor banget mobilnya, kena air genangan waktu tadi pagi aku berangkat ke kantor."
"Oh, ya udah. Nanti kalau udah jalan pulang hati-hati ya, Mas."
Naida meletakkan ponselnya kembali ke kamar, lalu melanjutkan menonton serial di televisi. Sejak sore, ia merasa khawatir karena Sandi belum juga pulang meski sudah menjelang malam, maka itu ia meneleponnya.
Arif, tukang bengkel sekaligus tukang cuci mobil itu, adalah temannya sekaligus teman Sandi. Dulu Naida bertetangga dan kenal dekat dengan Arif, dan dari sanalah ia mengenal sosok Sandi. Namun sejak menikah, ia sudah jarang berkomunikasi dengan Arif. Kini, hanya Sandi yang masih erat berhubungan dengannya.
Serial yang ditontonnya sudah tak menarik. Tanpa ragu, ia mematikan televisi yang beberapa menit lalu menjadi hiburannya. Naida pun merebahkan diri di atas sofa, memandang langit-langit rumah seperti yang sering ia lakukan dulu. Bedanya, langit-langit yang sekarang ia tatap lebih bersih dan indah.
Sampai detik ini, ia merasa tak percaya bahwa dirinya adalah istri dari pria tampan dan kaya raya. Hidup di rumah mewah, tak perlu bekerja keras, dan semua keinginannya selalu terpenuhi. Entah bentuk syukur apa lagi yang harus ia sampaikan pada Tuhan atas semua berkah ini.
*______*
Tangan kanannya terasa kram. Ia membuka matanya perlahan, menggerakkan tangan untuk meredakan rasa pegal. Betapa terkejutnya ia saat menyadari wajah sang suami berada begitu dekat dengannya.
Ternyata, ia tertidur di sofa, dan tangan kanannya tertindih tubuh Sandi yang ternyata tidur di sebelahnya. Gerakannya yang cukup keras saat menarik tangan membuat Sandi ikut terbangun.
"Kok, kamu tidur di sini, Mas?" tanyanya heran.
"Aku harusnya yang tanya begitu ke kamu," jawab Sandi sambil tersenyum kecil.
Naida membetulkan posisi tubuhnya untuk mencari kenyamanan. Sandi pun mengajaknya pindah ke kamar. "Pindah ke kamar aja, ya?"
Naida melirik jam dinding, "Tanggung, sebentar lagi subuh."
Sandi mendekap tubuhnya dengan lembut, tangannya sedikit menekan punggungnya seolah memijat. "Badan kamu pegal-pegal ini, Noi. Dari aku datang jam sepuluh, posisi tidur kamu nggak berubah."
Naida mengiyakan. Badannya memang terasa pegal, terutama di bagian punggung dan leher.
"Naik ke sini, ya," ucap Sandi sambil mengangkat tubuh Naida ke atas tubuhnya, membuatnya tengkurap di atas sang suami.
"Lebih enak di sofa, di sini keras," candanya pada Sandi.
"Sebentar lagi kamu bakal mengakui kalau di sini lebih enak daripada di sofa."
Naida tertawa kecil menanggapi balasan Sandi.
"Oh ya, tadi malam aku bawa martabak manis cokelat keju, tapi kamunya tidur," Sandi memberi tahu dengan nada menggoda.
"Kenapa nggak dibangunin?"
"Besok kalau kamu tidur lagi, aku bangunin," jawab Sandi sambil tersenyum.
"Jadi besok kamu mau bawa martabak manis lagi?"
"Kamu maunya aku bawa apa?" Sandi menatapnya penuh sayang.
Naida terdiam sejenak, seolah enggan memberi jawaban.
"Kabari aku aja kalau mau dibawakan makanan." Sandi menutup percakapan sambil memeluk kepala sang istri.
Selang beberapa detik, Naida mengangkat kepalanya dari dekapan Sandi. "Mas?"
"Apa, Noi?"
"Tiduran di badan kamu beneran lebih enak daripada di sofa."
Sandi tertawa kecil sambil mengusap lembut rambut Naida. "Asal jangan tiap hari, ya. Aku udah hampir jompo, asal kamu tahu."
Naida tersenyum, lalu mengecup ujung bibir Sandi, menyampaikan rasa terima kasihnya untuk sang suami yang menjadikan tubuhnya tumpuan bagi beban tubuhnya.
"Hmm… azan subuh masih lima belas menit lagi. Cukup untuk satu kali main," bisik Sandi menggoda.
Duh, Sandinya justru mengartikan kepada hal lain.
Naida hanya tersenyum malu, membiarkan dirinya nyaman di pelukan pria yang begitu ia syukuri keberadaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komposisi Cinta (END)
RomanceSegala kebaikan yang ada di muka bumi ini, Naida rasa Sandi memilikinya. Lebih dari sekadar seorang suami, Sandi seperti malaikat. Ya, begitulah yang ia rasa selama menjalani hubungan dengan Sandi. Selama enam bulan pernikahannya dengan Sandi, Naid...