Senja memeluk Seoul dengan lembut, menciptakan lukisan spektakuler di langit kota. Jae-hyun berjalan pelan menyusuri trotoar yang basah setelah gerimis sore, aroma petrichor menggelitik hidungnya. Daun-daun ginkgo yang keemasan berserakan di jalan, seolah menghamparkan karpet menyambut langkahnya.
The city breathes a sigh of relief as the rain subsides, leaving behind a world washed anew.
Di kejauhan, Jae-hyun melihat sosok yang familiar. Sung-min berdiri di bawah naungan pohon mapel, rambutnya yang gelap kontras dengan sweater putih gading yang ia kenakan. Sejenak, Jae-hyun ragu. Haruskah ia menyapa? Atau berpura-pura tidak melihat?
Mengapa ini terasa begitu canggung?
Belum sempat ia memutuskan, Sung-min menoleh. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti.
"Jae-hyun-ssi," Sung-min tersenyum, lambaian tangannya seringan kepakan sayap kupu-kupu. "Sedang apa di sini?"
Breathe, Jae-hyun! It's just a simple question. Why does it feel so complicated?
Jae-hyun menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. "Ah, hanya... berjalan-jalan. Kau sendiri, Sung-min-ssi?"
"Menunggu hujan reda," Sung-min tertawa kecil. "Mau bergabung?"
Bergabung? Mengapa? Apa yang harus kukatakan?
Mereka berdiri berdampingan, memandangi tetesan air yang jatuh dari dedaunan. Aroma kopi menguar dari kedai di seberang jalan, bercampur dengan wangi roti yang baru keluar dari oven.
"Kudengar kau sering menulis di blog?" Sung-min memecah keheningan.
Dia tahu? Apakah orang-orang membicarakanku?
Jae-hyun mengangguk pelan. "Ya, hanya hobi kecil."
"Aku penasaran," Sung-min menatapnya, ada kilat ketertarikan di matanya. "Boleh kubaca suatu saat?"
The world tilts on its axis. In this moment, reality seems more surreal than any story I've ever written.
Jae-hyun tertegun. Ia tidak menyangka Sung-min akan tertarik. "Te-tentu," jawabnya terbata.
---
Angin musim gugur berhembus lembut, membawa aroma manis kastanye panggang dari kedai pinggir jalan. Daun-daun mapel berguguran, menari-nari di udara sebelum mendarat lembut di atas trotoar yang basah. Jae-hyun berjalan pelan, tangannya menggenggam secangkir americano hangat yang uapnya mengepul di udara dingin.
Each step feels like a journey through time, each fallen leaf a memory waiting to be made.
Di kejauhan, ia melihat sosok familiar berdiri di bawah pohon ginkgo yang daunnya telah berubah keemasan. Min-ji, sahabatnya sejak kecil, tampak tenggelam dalam pikiran, matanya menerawang jauh ke arah Sungai Han yang berkilauan di bawah sinar matahari sore.
"Min-ji-ya," panggil Jae-hyun lembut.
Min-ji menoleh, senyum hangat mengembang di wajahnya yang bulat. "Jae-hyun-ah! Kau datang."
Jae-hyun mengulurkan secangkir teh hijau hangat yang ia beli di perjalanan. Min-ji menerimanya dengan kedua tangan, matanya berbinar penuh terima kasih.
In this simple exchange, a thousand unspoken words flow between us.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Jae-hyun, berdiri di samping Min-ji.
Min-ji menyesap tehnya sebelum menjawab, "Baik. Hanya... sedikit lelah."
Jae-hyun mengangguk paham. Ia tahu Min-ji baru saja menyelesaikan ujian akhir semester yang melelahkan.