1. Suara

11 3 2
                                    

▶︎ •၊၊||၊|။||||။‌‌‌‌‌၊|• 0:01

Hujan deras yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti meredam segala suara di ruangan itu. Barang-barang pecah dan berhamburan di lantai, tanpa ada minat untuk merapikannya kembali.

"Percayalah padaku, kamu akan baik-baik saja."

Suara lembut nan lirih itu memasuki pendengarannya, meskipun dia sudah seberusaha mungkin menutup telinga dengan kedua tangan.

Memejamkan mata untuk melupakan segala hal yang terjadi hari ini.

Dia hanya berharap semua ini mimpi dan keesokan harinya terbangun dengan kondisi semua baik-baik saja, tanpa ada yang terluka maupun yang pergi tak kembali.

"Kumohon, nak." Kedua tangan itu sangat berhati-hati menyentuh pundaknya, seolah mencoba mengguncang nya untuk kembali sadar. "Aku tahu semua ini terasa berat, tapi aku janji semuanya akan membaik pada waktunya."

Membaik pada waktunya?

Kalimat itu seperti puisi indah dengan makna yang menyakitkan. Dia masih tujuh tahun dan dipaksa untuk mengerti.

Mengerti untuk kesekian kali meskipun orang yang sudah membuatnya menderita telah pergi dan dia berharap tak akan ada lagi orng yang sama untuk kedua kalinya.

Wanita di hadapan anak kecil itu menghela nafas pelan, jempolnya dengan lembut mengusap bahu tegang anak itu untuk tidak lagi mengambil yang salah.

"Suatu hari, semua akan berubah dan kami akan merasakan hari dimana kamu menjadi kuat kembali."

Wanita itu kembali menyakinkan dengan nada tegas yang bercampur dengan kelembutan, suara terdengar keibuan meski masih muda. Dia tersenyum tipis yang tulus ketika mendapatkan perhatian anak yang memeluk kaki di ujung ruangan itu menatapnya.

Kedua tangan di telinganya melonggar, tetapi dia masih enggan untuk berbicara. Dia berasumsi anak itu setidaknya mau mendengarkan apa yang akan dia katakan sebelum mengambil keputusan bijak.

"Entah seseorang yang akan menguatkan atau kamu yang akan menguatkan atas dasar mengerti."

Wanita itu meraih wajahnya sebelum sebelum mengusap pipi pucat basah dari anak kecil itu.

"Kamu akan kuat kembali seiring berjalannya waktu."

✄┈┈┈┈

"Tidak bisa."

Peluh mengalir di pelipis, Ila menyeka dahi sebelum turun dari tangga lipat yang mengarah ke ventilasi udara.

Ruang penyimpanan gudang sekolah remang-remang oleh cahaya oren yang masuk dari kaca ventilasi udara setinggi lima meter dari lantai. Seisi gudang hanya diisi peralatan olahraga, perkakas sekolah dan kardus-kardus buku lama.

Pintu ganda dalam kondisi macet dan terkunci. Padahal Ila yakin dia meninggalkan kunci diatas matras biru di samping pintu agar dia tidak melupakan benda penting itu.

Namun sekarang dia terjebak di dalam, kunci itu sudah tidak ada. Meskipun dia memukul pintu besi itu berkali-kali, tidak ada yang datang.

Bukankah itu sudah jelas? Letak gudang penyimpanan ini berada di pojok gedung sekolah. Beberapa meter dari gedung utama dan lapangan olahraga yang sekarang dipakai oleh anggota eksul basket dan sepak bola.

Ila duduk meluruskan kaki di samping tumpukan kardus, dia meringis sambil memijat betisnya yang nyeri untuk kesekian kali. Padahal dia ingat luka dibalik perban tipis itu sudah dia perlakuan dengan baik.

Jangankan lelah, rasanya akhir-akhir ini dia tidak sanggup berdiri terlalu lama. Sekarang dia terjebak di ruang yang remang. Baju putihnya berdebu di beberapa sisi karena setengah jam membersihkan ruangan itu. Rambut yang sebahu melekat ke dahi dan leher oleh keringat.

Tangan pucat Ila meraba ke dadanya, dia menarik nafas perlahan dan menghembuskan dengan suara bergetar.

"Jangan lagi, ini bukan waktu yang tepat untuk panik." Ila mendorong tubuhnya untuk berdiri sebelum menghampiri pintu ganda besar gudang. "Mungkin aku harus coba lebih keras lagi."

Akhirnya Ila di hadapan pintu itu, satu tangannya berpegangan pada gagang dan tangan lain terangkat.

Siap untuk mengedor dengan kepalan tangan yang bergetar.

"Siapapun-"

Pintu terbuka secara paksa dari luar, Ila otomatis terdorong hingga jatuh terduduk di lantai berdebu gudang. Dia meringis sambil mengusap dahinya yang memerah akibat terhantuk.

"Loh, ada orang?" ucap suara pelan seseorang yang baru saja membuka pintu. Langkah kaki mengalihkan perhatian Ila yang meratapi bejolan merah di keningnya.

Pemuda itu mendorong pintu lebih terbuka, tanpa sengaja menyenggol kaki kiri Ila yang selonjoran di lantai. Ila menjerit pelan, spontan membuat siapapun tadi yang masuk menolehkan kepala ke belakang pintu yang setengah terbuka.

Setelah sadar apa yang baru saja terjadi, pemuda itu melepaskan gagang pintu dan melangkah ke samping dengan basket di tangannya yang lain. Ila mendongak, dia akhirnya bisa melihat sosok remaja laki-laki dengan kemeja putih sekolahnya. Dalam sekilas, Ila sadar anak itu tidak menggulung lengan seragamnya padahal sebagian sudah basah oleh keringat.

"Maaf, kau oke?"

Ila tersentak dari pikirannya, laki-laki itu menurunkan badan perlahan hingga berjongkok di samping Ila. Bola basket masih terpegang di tangannya saat dia menatap wajah Ila dengan mata madunya.

Perkara jarang berinteraksi dengan anak-anak lain di sekolah, Ila jadi sulit mengingat siapa saja yang pernah dia temui atau ajak bicara. Sepasang mata cokelat Ila bergeser menghindari tatapan lelaki itu ke lantai.

Kemudian, saat dia menyadari sebuah nama yang terjadi di dada seragamnya, barulah dia sadar.

Yah, Ila ingat. Lelaki ini adalah teman sekelasnya sendiri.

Laki-laki penghuni kursi kelas di barisan paling tengah yang juga di posisi tengah, bersama dua laki-laki yang salah satunya rusuh dan yang lain lembut.

Kalau tidak salah, dia punya satu nama yang singkat sekali.

Ah benar.

"Mal?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 14 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

But How? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang