Awal Sebuah Keyakinan?

3 0 0
                                    

Arina membuka laci di mejanya, terdapat sebuah buku kuno yang tampak sangat berharga. Buku itu berkulit tebal dengan warna cokelat tua, dihiasi dengan ukiran emas yang mulai memudar. Sampulnya sedikit rapuh, menandakan usianya yang sudah sangat tua. Di tengah-tengah sampul, terdapat simbol kerajaan yang pernah berjaya di masa lalu, dua singa yang saling berhadapan dengan pedang di antaranya.
Arina tersenyum dan membawanya keluar lalu menunjukkannya pada Remi.
“Lihatlah ini,” ucap Arina membuka buku itu dengan hati-hati, memperlihatkan halaman-halaman yang dipenuhi dengan tulisan tangan yang rapi namun kuno. Tinta yang digunakan sudah mulai memudar, tetapi kisah yang terkandung di dalamnya masih jelas terbaca. Setiap halaman buku itu menceritakan sejarah kerajaan dan pemberontakan yang pernah terjadi seribu tiga ratus tahun yang lalu.
Remi memandang Arina dengan tidak percaya. Ia tak mengerti lagi apa yang harus dipahaminya. Pertemuan mereka seribu tiga ratus tahun yang lalu saja masih sulit untuk Remi cerna. Ditambah dengan mimpi-mimpi yang menghantuinya dan membuat tidurnya tidak nyenyak. Dan sekarang, Arina mengatakan jika ada ancaman yang mengincar mereka. Sungguh rasanya sangat sesak hingga membuat Remi sulit untuk mengatur napasnya.
"Apalagi ini? Jangan bilang bahwa ini adalah sejarah yang tertulis dari ribuan tahun yang lalu?" tanya Remi skeptis dan semakin terkejut karena Arina mengangguk dengan yakin.
"Bagaimana mungkin?" lanjut Remi mengacak rambutnya. Rasanya kepalanya hampir pecah. Arina menatap Remi dengan mata penuh keprihatinan dan keseriusan.
"Ya, Remi. Musuh kita dari masa lalu telah kembali bangkit dan sedang mencari cara untuk menguasai dunia lagi. Kita harus menemukan peninggalan kuno yang bisa menghentikan ancaman tersebut,” jelas Arina.
Arina menunjukkan sebuah halaman dan membacakan isinya untuk Remi yang masih tidak mengerti.
“Pada masa pemerintahan yang penuh dengan kekacauan, ketika seorang Jendral Cassius mulai menyerang ke seluruh negeri, muncul dua sosok pemberani yang berani menantang nasib. Pangeran Edric dari Kerajaan Eldoria, dengan keberanian yang luar biasa, dan seorang petualang pemberontak Arina, dengan kebijaksanaan dan kecerdasan yang tiada tara, bersatu untuk melawan ancaman yang mengintai dunia mereka.”
Pikiran Remi berputar-putar, berusaha memahami kenyataan yang tiba-tiba dihadapinya. Dahinya berkerut dalam, napasnya terdengar lebih cepat dan berat. Jantungnya berdebar kencang, hampir seperti akan melompat keluar dari dadanya. Segala sesuatu yang ia ketahui tentang hidupnya, tiba-tiba terasa tak berarti dihadapan informasi ini.
“Jadi, semua ini bukan sekadar mimpi buruk atau halusinasi?” tanya Remi dengan suara gemetar.
“Ya,” jawab Arina tanpa ragu.
“Ini nyata? Kita benar-benar reinkarnasi dari mereka yang hidup seribu tiga ratus tahun yang lalu?” tanya Remi lagi masih tidak bisa percaya dan ingin sekali menampik semua yang dikatakan oleh Arina.
Sementara Arina mengangguk pelan dan menunjukkan, sebuah lukisan kecil yang sangat detail dalam buku kuno itu. Lukisan itu menggambarkan dua sosok yang mirip dengan Remi dan Arina saat ini. Pangeran Edric digambarkan dengan wajah tegas, mata tajam, dan rambut hitam yang tergerai. Di sampingnya, pemberontak Arina terlihat anggun dengan mata yang penuh keyakinan dan rambut panjang yang berombak. Kemiripan antara mereka dan sosok dalam lukisan itu begitu mencolok, seakan waktu tidak pernah mengubah penampilan mereka.
Arina menatap gambar itu dengan mata berkaca-kaca, merasa terhubung dengan masa lalunya yang penuh dengan keberanian dan pengorbanan. Ia menyentuh wajah Pangeran Edric dalam lukisan itu dengan lembut, seolah menyapa jiwa yang pernah dicintainya.
“Benar, Remi. Kita telah kembali untuk menyelesaikan apa yang belum selesai. Peninggalan kuno itu adalah kunci untuk menghentikan ancaman tersebut.”
Remi menelan ludah, merasa kering di tenggorokannya.
“Tapi kenapa kita? Kenapa harus kita yang menanggung beban ini? Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya menghadapi semua ini,” tanya Remi frustasi. Untuk mempercayai semuanya saja sangat sulit untuk dilakukan. Apalagi jika harus melakukan sesuatu yang sama sekali tidak Remi ketahui.
Arina menggenggam tangan Remi dengan lembut, mencoba menenangkan kegelisahannya.
“Karena kita adalah mereka yang memiliki keterikatan dengan peninggalan itu. Hanya kita yang memiliki petunjuk dan kemampuan untuk menemukannya. Kita dipilih oleh takdir, Remi,” jelas Arina meyakinkan Remi.
Remi menggelengkan kepalanya kuat, matanya berkaca-kaca.
“Ini terlalu besar, Arina. Aku tidak pernah merasa siap untuk tanggung jawab sebesar ini. Aku takut kita tidak akan berhasil.”
“Aku mengerti perasaanmu, Remi. Tapi kita harus melakukannya bersama-sama. Aku percaya padamu, dan kau harus percaya pada dirimu sendiri. Kita bisa melewati ini jika kita bersatu,” ucap Arina menatap Remi dengan penuh keyakinan.
Kata-kata Arina membawa sedikit ketenangan pada Remi, meski keraguan dan ketakutan masih menggelayuti hatinya. Ia merasa berat dengan beban tanggung jawab yang mendadak ini, tetapi melihat tekad dan keyakinan di mata Arina, ia tahu bahwa ia tidak sendirian.
“Kita harus mencari peninggalan kuno itu,” Remi berkata akhirnya, suaranya lebih mantap meski masih ada sedikit keraguan. Arina tersenyum lembut mendengar Remi yang tampak mulai percaya dan yakin dengan semua masa lalu mereka dan tujuan mereka bertemu kembali.
“Itu adalah langkah pertama, Remi. Kita akan mencari cara bersama. Yang penting, kita harus saling mendukung dan tidak menyerah.”
Keduanya terdiam dengan saling pandang. Mereka yang akhirnya memiliki satu pemikiran mulai merasakan kehangatan yang sempat hilang karena perdebatan yang tiada henti. Namun, saat ini keduanya merasakan kehangatan itu lagi.
Arina yang pertama menyadari tangannya yang masih menggenggam tangan Remi, ia langsung melepaskannya dan menjauhkan tubuhnya sedikit ke belakang. Membuat keduanya menjadi tampak canggung kembali.
Remi pun ikut salah tingkah dan menghabiskan teh manis yang sudah dingin. Sementara Arina memalingkah wajahnya yang memerah. Hening, keduanya terlarut dalam pikiran masing-masing.
“Maaf,” ucap Remi memecahkan keheningan. Arina menatap Remi dengan bingung.
“Kenapa minta maaf?” tanya Arina heran. Remi melirik jam pada tangannya dan menyadari sudah pukul tiga malam.
“Sepertinya aku telah menganggu tidurmu,” jawab Remi tidak enak hati. Arina ikut menatap jam di dinding dan menyadari waktu yang berlalu dengan cepat.
“Tidak apa-apa, sejujurnya aku senang karena kau kembali. Sebenarnya aku ingin menemui, tapi aku bahkan tidak tau alamat rumahmu atau pun nomor ponselmu. Jadi, aku sama sekali tidak merasa terganggu dengan kedatanganmu malam ini,” ucap Arina dengan tersipu malu.
Remi mengangguk mengerti dan bangkit berdiri, membuat Arina menatap dengan bingung.
“Sebaiknya aku pergi sekarang, aku ... akan menemuimu lagi untuk mencari peninggalan kuno itu bersama-sama,” ucap Remi pamit. Tapi Arina menahan tangan Remi agar tetap berada di sana.
“Ini sudah sangat larut, istirahatlah di sini hingga pagi. Kau pasti sangat lelah karena perjalanan yang sangat jauh,” ucap Arina menahan kepergian Remi.
Remi terdiam cukup lama dan memandang wajah Arina dengan kerindungan yang entah sejak kapan mulai dirasakannya. Menemui Arina lagi tidak ada dalam pikiran Remi sebelumnya, namun saat kembali bersama membuat Remi sangat sulit untuk memaksa dirinya menekan rasa rindu yang sangat besar.
Tapi logikanya masih bisa mengontrol perasaan yang mulai membara itu. Hingga Remi memilih untuk melepaskan tangan Arina dan berjalan keluar dari apartemen. Arina mengekori langkah Remi.
“Ah ini nomor teleponku, kau bisa menghubungiku untuk memulai mencari peninggalan kuno itu. Aku pulang,” ucap Remi berbalik dan memberikan kartu namanya pada Arina.
Arina menerima dengan perasaan sedih dan kecewa. Tapi ia mencoba tersenyum dan percaya dengan ucapan Remi.
“Hati-hatilah di jalan,” ucap Arina mengiringi kepergian Remi.
***
Beberapa hari berlalu, Arina tampak sangat kesal karena Remi sangat sulit untuk dihubungi. Janji yang Remi lontarkan seolah tidak berarti apa-apa bagi Remi.
Hingga hari ini, akhirnya Arina berhasil bisa menghubungi Remi setelah dua puluh panggilan.
"Remi ini aku Arina. Kenapa kau sulit sekali dihubungi? Kita harus lebih serius. Waktu kita tidak banyak untuk mencari peninggalan kuno itu," ucap Arina dengan nada menahan amarah.
Remi mendesah, merasa frustasi.
"Aku mencoba, Arina. Tapi ini semua terasa begitu asing dan membingungkan. Aku tidak yakin aku bisa melakukannya."
Arina merasa kecewa, tetapi ia berusaha menahan emosinya.
"Kau harus percaya pada dirimu sendiri, Remi. Kita tidak bisa berhasil jika kau tidak berkomitmen penuh."
“Aku pikir, aku akan berhenti sampai di sini,” ucap Remi dengan nada rendah. Arina sangat kecewa dan hampir tidak bisa mengontrol emosinya.
“Kita bahkan belum mulai, dan kau ingin berhenti? Bagaimana jika ancaman itu datang besok? Apa kau ingin melihat dunia kita hancur?” tanya Arina mulai meninggikan nadanya marah.

Arina dan Pangeran Edric: Petualangan Cinta dan PemberontakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang