BELASAN menit kuhabiskan untuk menatap ruang obrolan Albagja di layar ponsel di tangan kananku. Selama itu pula aku menimbang-nimbang untuk mengirimnya pesan lagi atau tidak. Aku takut pesanku tak terkirim atau lebih buruk, terkirim dan tak dibaca. Ah tidak, ada yang lebih buruk, dibaca tapi tak direspons. Akan tetapi, kau tidak akan mendapatkan jawaban sebelum kau bertanya.
𝘒𝘢𝘬 𝘈𝘭?
Ceklis satu. Sedetik kemudian ceklisnya bertambah, masih putih. Tak sampai dua detik berubah biru, mataku melotot. Tanpa pikir panjang aku menekan tombol keluar dari seluruh aplikasi. Itu tadi terlalu cepat, aku menggeleng-gelengkan kepala belum siap.
Ponselku berdenting, hapal benar jika itu adalah pemberitahuan 𝘸𝘩𝘢𝘵𝘴𝘢𝘱𝘱. Alih-alih meraih ponsel, aku memilih memasukan ponsel ke dalam saku dan segera bangkit. Bisa dikatakan aku sengaja mendiamkannya sekaligus mendadak teringat dengan kelas yang akan berlangsung beberapa puluh menit ke depan. Kusambar tasku yang sudah penuh oleh buku mata pelajaran hari ini sebelum berbalik menuju pintu.
Tunggu.. Percaya diri sekali. Padahal bisa saja itu bukan pemberitahuan dari Albagja, bisa saja dari Yuki atau ya bisa jadi siapanpun. Aku menepuk-nepuk dahi di sela langkah menuruni tangga. Konyol, Riluna konyol.
Tak membutuhkan waktu sampai sepuluh menit untuk tiba di gerbang utama. Hingga detik ini aku masih enggan memeriksa ponsel di dalam saku celana jeans. Albagja atau bukan, tetap belum ingin kubalas, mungkin kubalas nanti setelah selesai kelas pertama.
“Riluna,” suara serak itu mengalun bagai mantra di telingaku, aku berhenti otomatis, ingin menoleh tetapi leherku kaku. Aku hapal benar dengan suaranya, suara yang beberapa hari ini tak menyapaku. Suara yang.. Kurindukan.
“Hey, tadi kenapa memanggil?” tanya Albagja berdiri di depanku. Aroma parfumnya menyeruak ketika ia melewatiku, maskulin tetapi tak berlebihan. Kutatap wajahnya, ekspresinya cerah seperti saat kami mendapatkan 𝘴𝘱𝘰𝘯𝘴𝘰𝘳𝘴𝘩𝘪𝘱 pekan lalu. Sudut bibirku terangkat membentuk senyuman, aku menggeleng. “Ah itu-” 𝘚𝘪𝘢𝘭, aku tak dapat menemukan alibi sekalipun mataku sudah mengedar sedangkan Albagja masih menunggu. Tidak mungkin mengatakan ingin bertanya soal secarik kertas itu sekarang.
“Saya tidak melihat Kakak beberapa hari ini, saya pikir Kakak sakit, ketularan Yuki,” aku nyengir sebagai kedok. Bibir Albagja menekuk dan bergerak ringan, matanya menelisik mencari tahu. “Itu saja?” ulangnya mengkonfirmasi, agak menuntut. “Penyakit Yuki kan tidak menular,” imbuhnya seolah mengingatkanku.
Aku mengangguk beberapa kali, menyadari kebodohanku. “Kalimat terakhir itu gurauan saja Kak,” beruntung suaraku masih bisa kubuat ringan. Aku kembali melangkah usai Albagja beralih ke sisiku.
“Ah- saya pikir ada yang kau butuhkan,” sahutnya menyamakan langkah dengan langkahku yang lebih pendek. “Saya sehat kok, Luna. Hanya baru senggang saja,” imbuhnya. Sejujurnya itu membuatku tenang sedikit, setidaknya hanya sibuk bukannya sakit. Oh, atau setidaknya dia tidak mengindariku seperti terkaan Yuki kemarin.
“Syukurlah Kak. Beberapa teman di kelas saya sakit. Musimnya sedang kurang bagus,” paparku berusaha membuat percakapan berjalan senormal mungkin.
“Imun saya lumayan bagus kok Lun. Jadi aman,” aku mengangguk-anggukan kepala. Sadar itu membuat obrolan kami kehilangan topik tapi lagi-lagi teringat tentang selembar kertas yang menggangguku seminggu ini. Aku bahkan lupa terakhir meletakannya di mana jika bukan di saku celana cargoku kemarin.
“Omong-omong,” Albagja kembali membuka suara dan menjedanya sejenak. Aku menoleh, mengangkat kedua alis. Langkah kami berdua otomatis berhenti. “Sore nanti saya mau survey ke pantai untuk acara besok, kalau kau senggang, ayo pergi bersama? Temani saya,” mataku tak beralih dari matanya yang menyiratkan harapan tetapi telingaku seolah berdengung, mengulang-ulang kalimat Albagja. Aku mengangguk setelah dapat kembali memulihkan diri, kuharap itu hanya berselang tak lebih dari lima detik.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Always Will 「 Jackson x Jihyo 」
RomantizmMengerikan bagaimana Tuhan mencabut rasa itu darimu sementara dariku belum.