Menyeberang

0 0 0
                                    


Pada setiap malam sekumpulan anjing berkumpul di tepi sungai. Berbicara masalah terbalik yang dipikirkan orang-orang sakit. Ada yang bilang bahwa berpikir berarti memikirkan sesuatu. Padahal belum tentu yang terjadi seperti itu. Orang yang berpikir bisa jadi hanya menyentuh kemungkinan-kemungkinan yang terlihat. Hanya terlihat. Jangan berbohong pada siapapun jika masa lalu belum dibungkam dan ditutup rapat-rapat. Karena setiap apa yang diutarakan lewat bibir akan diingat dan terus direkam oleh orang-orang. Setiap orang punya pilihan yang abstrak dan random, tidak bisa disamakan oleh apapun atau siapapun yang menjadi apapun.

Pada hangat malam, bulan masih menjadi yang tidak ternilai secara lisan bahkan terstruktur. Dibicarakan namun tidak dilihat. Apapun yang bisa disentuh memang belum bisa diartikan sebagai yang terbalik. Karena menjadi yang terbalik memang tidak mudah, tetapi tetap bisa dilakukan meski dalam ketiadaan. Terbalik adalah menjadi beda.

Menjadi berbeda. Dulu, saat dunia masih berjalan normal kaum The Gift yang tidak terlihat dan tersentuh menjadi makhluk berbeda. Menjadi minoritas, meskipun tidak disadari banyak orang. Tapi kini, setelah perang dunia ketiga pecah, orang-orang seperti Anggara yang normal dan polos justru menjadi makhluk yang berbeda. Berbalik menjadi kaum minoritas. Bedanya mereka diketahui oleh kaum The Gift.

Patahan pulau Jawa semakin dekat. Mara dan Anggara tertidur sejam yang lalu. Popy tetap terjaga bersama Saka. Air mulai terlihat dari kejauhan. Saka meminta Popy untuk membangunkan Mara dan Anggara. Tepat saat SUV Hitam berhenti, Mara terbangun mengedipkan mata berulang kali. Anggara masih tidur pulas.

"Si Angga bangunin, Mar," kata Popy.

"Ngga... Angga. Bangun, Bangun," Mara menepuk pundak Anggara.

Anggara mengigau. Popy dan Saka menoleh kebelakang.

"Bangun woy!" teriak Mara di telinga Anggara.

Anggara belum terbangun.

"Woy kampret! Bangun!" Mara menampar pipi Anggara.

"Aduh..." Anggara membuka mata, melihat Popy, Mara dan Saka menatapnya, lalu mengelus pipinya.

"Udah sampai, Ngga," senyum Popy.

"Keluarnya pelan-pelan. Ada genangan," kata Saka mematikan mesin.

Pelan-pelan SUV Hitam itu menyentuh tanah, Saka keluar lebih dulu, Popy keluar tepat ketika Saka menutup pintu kemudi. Genangan air menutupi mata kaki, beberapa meter dari SUV Hitam patahan Pulau Jawa terlihat. Mara keluar dari SUV. Setelahnya Anggara keluar lalu menutup pintu.

"Kita nyebrang?" tanya Mara.

"Yap!" Saka menoleh, menatap Mara, mantap.

"Kenapa nggak naik ini aja?" Mara menepuk daun pintu SUV Hitam.

"Ya nggak bisa lah, Mar... Mobil ini nggak bisa ngambang di atas air," jelas Popy.

"Teknologi..." Mara menghela napas.

"Emang kenapa sama teknologi?" tanya Anggara.

"Pembohong, Ngga," Mara mengangkat alis, melihat Anggara.

"Kita harus cek dulu, mungkin udah makin dalam patahannya," kata Saka.

"Wah, buaahayaaa."

"Kenapa Mar?" tanya Popy.

"Dia takut air, Pop," Saka meledek.

"Owalah, Mar, Mar. Laki kok takut air... Iya nggak, Ngga?"

"Tul!" Anggara terkekeh.

"Yeee, bukan takut air. Takut tenggelam."

"Sama aja," ucap Saka.

Setelah dicek patahan Pulau Jawa semakin lebar dan dalam. Kedalamannya hampir dua meter. Tidak ada yang berani berenang karena air yang kotor bercampur tanah. Hari mulai gelap, mereka memutuskan untuk beristirahat sampai besok pagi sembari memikirkan cara menyeberang paling mudah. Di dalam SUV Hitam mereka memutuskan untuk melemaskan otot-otot yang sepanjang hari tegang. Membuka sedikit jendela agar angin bisa masuk dan mereka tidak kekurangan oksigen. Anggara yang memang terlihat kelelahan langsung tertidur, suara dengkurannya pelan terdengar.

DhanurvedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang