Sang Penentu

0 0 0
                                    


Sang Penentu

"Gimana?" tanya Saka.

"Sudah terbunuh, tinggal tunggu dia sadar."

"Popy masih di mobil, mau sekalian?" tanya Anggara pada Saka.

"Bawa dia kemari," ucap Saka.

Anggara berlari menuju mobil, camp itu tidak seramai sebelumnya, telah banyak yang hilang. Sudah satu jam berlalu sejak Anggara dan Saka sampai. Dinding camp itu tidak lagi kokoh, ada beberapa sudut yang telah runtuh—hancur. Pintu depan masih berdiri kokoh. Mobil terparkir tepat di depan pintu camp, Anggara buru-buru membuka pintu kemudi, menggendong Popy lalu kembali, menghampiri Saka. Area itu tidak beratap, dikelilingi tembok bata. Seperti tanah lapang di dalam penjara yang digunakkan para tahanan untuk bersantai.

Anggara membaringkan Popy tepat di samping Mara, diatas sebuah batu yang lebar dan panjang. Saka terus memegang tangan Mara, belum melepasnya. Baru kali ini Anggara merasa sangat khawatir melihat apa yang terjadi. Saka mencoba menahan tangis, Anggara melihat mata Saka yang diselimuti air mata. Anggara terus melihat dada Mara, jantung masih belum berdetak. Anggara terus melihatnya, doa terus terdengar dari bibirnya. Hingga senyum Anggara mengembang.

"Jantungnya berdetak," ucap Anggara, menunjuk dada Mara.

Saka melepas tangannya, mendengar detak jantung Mara, menempelkan telinganya pada dada Mara. Ada senyum yang mengembang di bibirnya.

"Tampar dia."

Saka menampar Mara, seketika Mara terbangun, tersentak, napasnya terengah. Merasa bingung, melihat langit biru yang begitu terang menyilaukan mata. Mara melihat Saka lalu memeluknya, tersenyum melihat Anggara. Matanya tertumbuk pada seorang wanita yang sedang fokus menyentuh beberapa bagian tubuh Popy. Bertanya-tanya, menatap Saka.

"Dia penyelamatmu," senyum Saka. Mara merasa lega mendengar kalimat itu, mengambil napas panjang lalu kembali berbaring. Mara menatap langit, merasakan udara menerpa wajahnya, sesekali menoleh melihat Popy yang berbaring tepat di sampingnya.

Suara hentakan kaki terdengar, beberapa orang memasuki camp, mereka membawa tombak dan alat panah, dengan sigap Saka dan Anggara mengambil pistol di celananya.

"Tenang... Mereka di pihakku."

Saka dan Anggara mengembalikkan pistolnya di saku celana. Mara mendongak melihat satu pasukan serba hitam. Semua prajurit itu berkulit putih, sama seperti wanita yang baru Mara lihat. Wanita itu membawa satu tongkat di punggungnya, rambutnya yang sedikit pirang dikuncir, rahangnya tegas dengan lesung pipit di pipi kanan. Matanya kecokelatan. Baru kali ini Mara melihat mata seindah itu.

"Istirahatlah."

Pasukan itu meletakkan senjatanya, lalu beristirahat, ada yang duduk, ada yang langsung tiduran, tidak kenal tempat, jumlahnya kurang dari sepuluh orang.

"Berapa sisanya?" tanya Saka.

"Delapan... Kita juga diserang, sama sepertimu."

"Tadinya kita bertujuh. Kita disusupi, wanita ini menembak dua robot," Saka menunjuk Popy.

"Mara membunuh satu orang," Saka menunjuk Mara.

"Eh iya, Mar. Kenalin... Ini Hilya," kata Saka, Mara mengulurkan tangan.

"Mara," wanita itu membalas salam Mara, tersenyum lalu berfokus pada Popy.

Anggara menghampiri salah satu prajurit, lalu duduk disampingnya, menanyakan sesuatu tapi tidak dibalas.

Popy masih berdiri terpaku, terpaan angin yang menyentuh kakinya membuat bulu kuduknya berdiri. Ada suara-suara yang muncul dari langit-langit, Popy tidak mengenal suara itu, beberapa kali memanggil namanya dan melarangnya untuk melompat. Ada yang tidak bisa dijelaskan oleh akal pikiran, Popy baru pertama kali masuk ke ruang mimpi. Rasanya memang sedikit aneh, setiap matanya berkedip warna-warna di depannya berubah, warna laut, tanah, langit, awan dan yang lainnya. Hingga Popy merasakan pusing yang teramat sakit, Popy duduk di pinggir tebing itu, sembari menahan rasa sakit pada kepalanya. Ujung kakinya merinding, merasakan perubahan suhu yang drastis.

DhanurvedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang