Senja merangkak masuk melalui jendela berdebu apartemen sempit itu, mewarnai dinding kusam dengan semburat jingga yang menyedihkan. Udara pengap terasa menekan, sarat dengan aroma kemiskinan dan impian yang terkubur. Min-ji kecil, dengan baju tidur kumalnya yang sudah terlalu pendek, berjinjit di atas kursi goyang tua. Kayu lapuknya berderit pelan, seolah memprotes beban tubuh kurus anak itu.
Mata Min-ji yang besar dan berkaca-kaca menatap penuh harap pada cangkir porselen putih di atas rak tinggi - satu-satunya benda indah di ruangan yang dipenuhi bayang-bayang kesedihan itu. Cangkir itu berdiri angkuh, seolah mengejek kemiskinan yang mengelilinginya.
"Aku hanya ingin menyentuhnya," bisik Min-ji lirih, suaranya bergetar penuh kerinduan. Jemari mungilnya yang kotor terulur, hampir menyentuh pegangan cangkir yang berkilau lembut dalam cahaya senja.
Namun, takdir berkata lain. Kursi tua itu bergerak tiba-tiba, engselnya yang aus menyerah pada gravitasi. Min-ji merasakan dunianya berputar. Dalam gerakan yang seolah melambat, ia melihat cangkir itu tersenggol oleh tangannya yang berusaha mencari keseimbangan.
Cangkir itu melayang di udara, berputar perlahan, memantulkan sinar matahari terakhir sebelum menghantam lantai kayu yang usang. Suara pecahan membelah keheningan sore, mengiris hati Min-ji dengan tajamnya.
Min-ji terduduk di lantai, dikelilingi serpihan tajam yang berkilau seperti mimpi yang hancur. Jantungnya berdegup kencang, setiap detak membawa gelombang ketakutan yang mencekam. Ia tahu badai akan segera datang.
"Min-ji!" Suara ibunya membelah udara yang pengap, setajam pecahan cangkir di sekitarnya. Setiap suku kata dalam namanya terdengar seperti cambukan di hati Min-ji yang rapuh.
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Min-ji, mengaburkan pandangannya. "Ma-maaf, Mama," ia tergagap, suaranya nyaris tak terdengar. "A-aku hanya ingin melihatnya lebih dekat."
Wajah ibunya memerah, campuran amarah dan kelelahan yang telah lama terpendam. Garis-garis di wajahnya semakin dalam, menunjukkan beban hidup yang terlalu berat untuk dipikul sendiri. Tangannya terangkat tinggi, gemetar oleh emosi yang tak terkendali.
"Berapa kali Mama bilang, jangan sentuh barang-barang Mama!" teriaknya, suaranya pecah oleh frustrasi dan kekecewaan yang mendalam. Setiap kata menghantam Min-ji, membuatnya semakin mengkerut ketakutan.
Dalam sekejap, dunia Min-ji berputar. Rasa sakit menyengat pipinya, bukan hanya karena tamparan fisik, tapi juga karena hatinya yang remuk. Ia merasakan panas air mata yang mulai mengalir di pipinya yang memerah, setiap tetesnya membawa serta serpihan hatinya yang hancur.
"Mama... sakit..." isaknya pelan, tangan kecilnya menyentuh pipinya yang berdenyut. Matanya yang besar menatap ibunya, penuh kebingungan dan rasa takut yang mendalam. Ia mencari secercah kasih sayang di mata ibunya, tapi hanya menemukan kemarahan dan kekecewaan.
Untuk sesaat, topeng kemarahan ibunya retak. Penyesalan yang dalam muncul di matanya, tapi secepat kilat menghilang, tenggelam dalam lautan frustrasi dan keputusasaan. Alih-alih meminta maaf, ia berbalik dan meninggalkan ruangan, langkahnya berat oleh rasa bersalah yang tak terucap.
Min-ji ditinggalkan sendirian, di antara pecahan cangkir dan serpihan hatinya. Ia meringkuk di sudut, memeluk lututnya erat-erat, mencoba mencari kehangatan yang tak pernah ia dapatkan. Isakan pelan lolos dari bibirnya yang bergetar, memecah kesunyian ruangan yang terasa mencekik.
"Kenapa?" bisiknya pada boneka beruang usang di sampingnya, satu-satunya teman yang ia miliki. "Kenapa Mama selalu marah? Apa aku anak yang buruk?"
Keheningan menjawabnya, menegaskan kesepian yang menyelimuti hidupnya. Min-ji kecil mengeratkan pelukannya pada si beruang, air matanya membasahi bulu-bulu usang itu, membawa serta harapan dan impian yang perlahan memudar.