...
Pancarona. Sebuah kata yang terbesit dalam pikiran Vena, saat membantu ibunya menyusun tanaman-tanaman bunga. Ada berbagai macam jenis dan juga beragam warna. Jujur saja, Vena begitu tak menyukai bunga yang sedang ia susun itu.
Berulang kali melakukan hal yang sama. Mengangkat satu pot bunga, kemudian di pindahkan. Begitu seterusnya hingga selesai.
"Vena, tolong Ibu! Itu tanahnya dikeluarkan dulu." Vena patuh.
Dengan perlahan, ia mengeluarkan semua tanah yang berada didalam pot tak berbunga tersebut. Ia mendapati cacing di sana, sama sekali tak merasa geli. Vena mengangkat cacing tersebut dan diperlihatkannya pada bu Salwa.
"Cacingnya kau simpan di sini!" suruhnya memberikan Vena sebuah wadah.
Ada tiga cacing yang ia dapat, semuanya menggeliat saat Vena menariknya dari tanah.
"Bu, hari ini Vena belum bertemu Ali," beritahu Vena saat tugasnya sudah selesai.Bu Salwa terdiam sebentar. Ia tahu yang anaknya maksud adalah pergi ke pantai, dan membawa bunga untuk ia lepaskan di laut sana. Ia hapal betul, karena anaknya begitu rutin melakukan hal tersebut.
Bu Salwa melihat anaknya hendak membersihkan tangan di kran air. Ia berpikir bagaimana caranya agar Vena tak ke laut hari ini. Ia harus berusaha membuat anaknya melupakan Ali. Ya, hanya cara itu agar si anak dapat melanjutkan kehidupannya.
Fokus Vena tak pernah lepas dari Ali, sehingga ia mengabaikan hal-hal yang semestinya harus ia lakukan. Ibarat kata, Vena hanya stuck disitu saja. Tidak ingin melirik apapun. Dunianya hanya tentang Ali, Ali dan Ali.
"Vena, pinggang Ibu sedikit sakit." Bu Salwa mulai melancarkan aksinya. "Bunga-bunga ini bisa mati, nak, jika tidak segera ditanam," beritahunya. Vena melirik beberapa bunga dan benar saja, ada yang masih berada dalam wadah berisi air, dan ada juga yang tergelak begitu saja di permukaan tanah."Biar Vena bantu, Bu."
Bu Salwa tersenyum. Ia berhasil. "Itu masih kosong, sebentar lagi pemiliknya datang." Bu Salwa sebenarnya menjual bunga-bunga, namun bukan seperti jenis bunga yang mewah. Hanya bunga untuk menghiasi taman-taman ibu-ibu pecinta bunga.
"Bu, cacingnya?" Vena memperlihatkan cacing yang meliuk-liuk didalam wadah. "Ini kalau dipakai buat mancing, dapat ini, Bu."sedikit melucu untuk menghibur dirinya sendiri.
"Ada-ada saja kau Vena. Sudah, itu cacingnya disimpan di tanah itu," tunjuk bu Salwa pada satu pot didepannya. "Itu bagus untuk tanaman," lanjutnya.
Tangan Vena akhirnya kembali kotor oleh tanah. Ia dengan cekatan menanam satu persatu tanaman tersebut. Tidak sulit, hanya perlu menggali sedikit lalu memasukkan tanaman, dan ditimbun kembali. Vena sedikit menekan saat menimbun akar bunga-bunga tersebut.
"Vena," panggil bu Salwa.
Vena menoleh. "Kenapa Bu? Apa pinggangnya sakit sekali?" tanyanya memastikan, belum tahu ibunya sedang membohonginya.
Bu Salwa mengulas senyum. Ia mengucap syukur dalam hati, karena ia yang telah diberi kesempatan untuk merawat anak sebaik Vena.
"Ibu-" ucapan bu Salwa terpotong dengan suara ketukan pintu. Ia sedikit melirik kesamping dan langsung bisa melihat siapa yang datang. Pasalnya mereka juga sedang berada diluar rumah, lebih tepatnya di samping rumah.
Vena enggan beranjak. Ia begitu malas berinteraksi dengan orang asing. Ia menunggu ibunya, berharap ibunya yang akan menghampiri orang tersebut.
Dan benar saja. Tak lama setelahnya bu Salwa beranjak menghampiri orang yang terus mengetuk tak menyadari keberadaan bu Salwa dan Vena di samping rumah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Seberang Laut Sana
General Fiction-Ini tentang komunikasi dua sisi antara indahnya laut dan suramnya hati- Sama sekali tidak layak untuk di plagiat. Terima kasih!