BAB 3 : teman lama

13 8 0
                                    

Pancarona. Satu kata yang terbesit dalam pikiran Biru, saat membantu ibunya menyusun tanaman-tanaman bunga. Ada berbagai macam jenis dan juga beragam warna. Jujur saja, Biru begitu tak menyukai bunga yang sedang ia susun itu.

Berulang kali melakukan hal yang sama. Mengangkat satu pot bunga, kemudian di pindahkan. Begitu seterusnya hingga selesai.

"Biru, tolong ibu! Itu tanahnya dikeluarkan dulu." Biru patuh.

Dengan perlahan, ia mengeluarkan semua tanah yang berada didalam pot tak berbunga tersebut. Ia mendapati cacing disana, sama sekali tak merasa geli. Biru mengangkat cacing tersebut, dan diperlihatkannya pada bu Salwa.

"Cacingnya kau simpan disini!" suruhnya memberikan Biru sebuah wadah.

Ada tiga cacing yang ia dapat. Semuanya menggeliat saat Biru menariknya dari tanah.

"Bu, hari ini Biru belum bertemu Ali," beritahu Biru saat tugasnya sudah selesai.

Bu Salwa termenung sebentar. Ia tahu yang anaknya maksud adalah pergi ke pantai, dan membawa bunga untuk ia lepaskan di laut sana. Ia hapal betul, karena anaknya begitu rutin melakukan hal tersebut.

Bu Salwa melihat anaknya hendak membersihkan tangan di kran air. Ia berpikir bagaimana caranya agar Biru tak ke laut hari ini. Ia harus berusaha membuat anaknya melupakan Ali. Ya, hanya cara itu agar Biru dapat melanjutkan kehidupannya.

Fokus Biru tak pernah lepas dari Ali, sehingga ia mengabaikan hal-hal yang semestinya harus ia lakukan. Ibarat kata, Biru hanya stuck disitu saja. Tidak ingin melirik apapun. Dunianya hanya tentang Ali, Ali dan Ali.

"Biru, pinggang ibu sedikit sakit." Bu Salwa mulai melancarkan aksinya. "Bunga-bunga ini bisa mati, nak, jika tidak segera ditanam," beritahunya. Biru melirik beberapa bunga dan benar saja, ada yang masih berada dalam wadah berisi air, dan ada juga yang tergelak begitu saja di permukaan tanah.

"Biar Biru bantu, Bu."

Bu Salwa tersenyum. Ia berhasil. "Itu masih kosong, sebentar lagi pemiliknya datang." Bu Salwa sebenarnya menjual bunga-bunga, namun bukan seperti jenis bunga yang mewah. Hanya bunga untuk menghiasi taman-taman ibu-ibu pecinta bunga.

"Bu, cacingnya?" Biru memperlihatkan cacing yang meliuk-liuk didalam wadah. "Ini kalau dipakai buat mancing, dapat ini, bu."

"Ada-ada saja kau Biru. Sudah, itu cacingnya disimpan di tanah itu," tunjuk bu Salwa pada satu pot didepannya. "Itu bagus untuk tanaman," lanjutnya.

Tangan Biru akhirnya kembali kotor oleh tanah. Ia dengan cekatan menanam satu persatu tanaman tersebut. Tidak sulit, hanya perlu menggali sedikit lalu memasukkan tanaman, dan ditimbun kembali. Biru sedikit menekan saat menimbun akar bunga-bunga tersebut.

"Biru," panggil bu Salwa.

Biru menoleh. "Kenapa Bu? Apa pinggangnya sakit sekali?" tanyanya memastikan, belum tahu ibunya sedang membohonginya.

Bu Salwa mengulas senyum. Ia mengucap syukur dalam hati, karena ia yang telah diberi kesempatan untuk merawat anak sebaik Biru.

"Ibu—" ucapan bu Salwa terpotong dengan suara ketukan pintu. Ia sedikit melirik kesamping dan langsung bisa melihat siapa yang datang. Pasalnya mereka juga sedang berada diluar rumah, lebih tepatnya di samping rumah.

Biru enggan beranjak. Ia begitu malas berinteraksi dengan orang asing. Ia menunggu ibunya, berharap ibunya yang akan menghampiri orang tersebut.

Dan benar saja. Tak lama setelahnya bu Salwa beranjak menghampiri orang yang terus mengetuk, dan tak menyadari keberadaan bu Salwa dan Biru di samping rumah.

Melautkan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang