Namaku Arman. Aku adalah suami dari wanita paling luar biasa yang sangat kucintai, Rina. Kami adalah pasangan muda yang baru tiga tahun menikah, kami hidup sederhana di sebuah kota kecil yang tenang. Setiap pagi, aku selalu bangun dengan senyuman, merasa beruntung punya Rina di sisiku. Kami saling mencintai begitu dalam, seakan tak ada yang bisa merusaknya. Tapi, hidup punya cara sendiri buat menguji kekuatan cinta dan ketabahan kami.
Semuanya dimulai dengan impian besar dan harapan yang menggebu-gebu. Aku pengen kasih kehidupan yang lebih baik buat Rina. Setiap malam, setelah kerjaan selesai, kami duduk di teras rumah kecil kami, menikmati angin malam yang sejuk. Dalam keheningan yang nyaman itu, aku cerita tentang rencana-rencana yang kubuat.
"Kita harus punya toko kecil sendiri, Sayang," kataku suatu malam, memandang jauh ke langit berbintang. "Toko yang jual berbagai barang kebutuhan sehari-hari. Aku yakin toko itu bakal jadi sumber penghasilan yang stabil dan bikin hidup kita lebih nyaman."
Rina tersenyum dengar kata-kataku, wajahnya bersinar dalam cahaya rembulan. "Itu ide bagus, Mas. Aku bisa bayangin kita kerja bareng, melayani pelanggan, dan lihat toko kita berkembang."
Aku meraih tangannya, merasakan kehangatan dan cinta yang selalu ada di antara kami. "Ya, kita bisa kerja bareng. Tapi buat mulai, kita butuh modal. Dan itu yang jadi masalah kita saat ini."
Rina ngangguk pelan, matanya menunjukkan keprihatinan. "Aku tahu, Mas. Tapi dari mana kita bisa dapet uang sebanyak itu? Tabungan kita gak cukup, bahkan buat setengah dari modal yang kita butuhin."
Dalam kegelisahan itu, aku berusaha cari solusi. Aku tanya ke teman-teman, cari kerjaan tambahan, tapi hasilnya selalu sama. Kami tetap tidak bisa kumpulin uang yang cukup. Hingga suatu hari, di tengah keputusasaan, aku ketemu Herman.
Herman adalah rentenir terkenal di kota kami. Dia sering terlihat di sudut-sudut jalan, ngobrol dengan orang-orang yang tampak putus asa. Orang-orang sering ngomongin Herman dengan nada penuh ketakutan dan ketidakpercayaan. Mereka bilang, sekali kau berurusan dengan Herman, kau tidak akan pernah bisa lepas darinya.
Namun, saat itu, aku hanya lihat dia sebagai jalan keluar dari kebuntuan yang kualami. Dengan hati-hati, aku mendekati Herman di sebuah warung kopi tempat dia sering duduk.
"Selamat malam, Pak Herman," sapaku dengan sopan.
Herman menatapku dengan tatapan tajam, matanya seakan menembus ke dalam jiwaku. "Selamat malam. Siapa kau dan apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya dengan suara berat.
Aku berusaha jaga suaraku tetap tenang meski hatiku berdebar kencang. "Nama saya Arman. Saya dengar Bapak bisa kasih pinjaman uang. Saya butuh modal buat mulai usaha kecil."
Herman menyandarkan tubuhnya ke kursi, memperhatikan aku dengan lebih seksama. "Usaha kecil, ya? Apa yang membuatmu berpikir saya akan kasih pinjaman?"
Aku tarik napas dalam-dalam, mencoba menunjukkan keyakinan dalam suaraku. "Saya punya rencana yang matang, Pak. Saya ingin buka toko kecil yang jual barang-barang kebutuhan sehari-hari. Toko itu bakal jadi sumber penghasilan yang stabil, dan saya yakin bisa lunasi pinjaman Bapak dengan keuntungan dari usaha itu."
Herman tersenyum tipis, tapi senyuman itu tidak bawa kehangatan. "Semua orang yang datang ke saya punya rencana matang dan keyakinan tinggi. Tapi nggak semua orang bisa bayar kembali pinjamannya. Kau tahu, bunga yang kutetapkan cukup tinggi. Kau harus yakin bisa kembalikan tepat waktu."
Aku ngangguk, merasa sedikit lega karena setidaknya dia mau dengerin. "Saya paham, Pak. Saya yakin bisa bayar. Saya cuma butuh kesempatan."
Herman memandangku lama, seolah menimbang-nimbang sesuatu. Akhirnya, dia ngangguk. "Baiklah. Saya akan kasih kau pinjaman. Tapi ingat, kalau kau nggak bisa bayar tepat waktu, kau akan hadapi konsekuensinya. Dan percayalah, kau nggak mau tahu apa konsekuensi itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Hutang
Ficción GeneralNamaku Arman, seorang suami yang sangat mencintai istriku, Rina. Hidup kami sederhana di kota kecil yang tenang, dengan impian membuka toko kecil untuk kehidupan yang lebih baik. Namun, ketika modal menjadi hambatan, kami terpaksa meminjam uang dari...