Hubungan pertemanan Anne dan Fiore memburuk seiring dengan berjalannya waktu. Fiore tidak mengerti kenapa dirinya harus disangkut pautkan dengan masalah Anne dan Rexton. Tidak ingin larut dalam masalah mereka, Fiore memutuskan untuk menghindar sementara waktu dan memilih untuk pulang menengok adiknya. Keadaan di rumah ternyata lebih buruk dari dugaannya. Penuh dengan sampah dan bau busuk tercium dari segala penjuru. Ia mendesah saat melihat Fariz berjuang untuk menyapu rumah sedang Dornia entah kemana. Kaki sang adik yang ditopang tingkat, diseret-seret sementara tangannya yang mungil memegang sapu. Hatinya terasa sakit melihatnya.
"Kamu makan saja, kakaka bawa makanan."
Fariz menerima dengan mata berbinar. "Makasih."
"Duduk sana, biar kakak yang bersih-bersih. Selesai makan, kamu mandi. Baju kotor biar kakak yang cuci."
Sementara adiknya makan, Fiore bergerak sigap membersihkan rumah. Menyapu, mengumpulkan sampah, dan mengepel. Setelah itu membersihkan kamar mandi yang luar biasa kotor dan berbau tidak sedap. Selesai semua ia membeli galon air minum dan mencuci baju. Fariz yang kelelahan tertidur di ranjang. Fiore mengusap lembut wajah adiknya yang kurus. Merasa dirinya tidak berdaya karena tidak bisa menolong adiknya dari kesulitan.
"Semoga kakak dapat kerjaan yang lebih bagus, ya? Nanti kamu ikut aku."
Suara pintu didobrak membuat Fiore berjengit. Terlambat untuk menutup pintu kamar, Diorna muncul sambil menyeringai dan berujar lantang.
"Anak keparat! Pulang juga lo akhirnya. Mana uang?"
Fiore menatap adiknya yang pulas, takut kalau menganggu bergegas keluar dan menutup pintu. "Maa, uang apa lagi? Barusan aku bayar sewa untuk rumah ini."
Diorna melotot. "Apa kata lo? Emangnya lo pikir bayar sewa saja sudah cukup? Tidaaak! Masih banyak kebutuhan yang harus lo kasih buat kita. Mana uang, serahkan sekarang."
"Nggak ada, Maa."
Tidak peduli pada rengekan Fiore, Diorna membuka pintu kamar dengan paksa dan meraih tasnya. Mengambil dompet lalu membawanya keluar tentu saja membanting pintu. Mengambil sisa uang yang ada di dompet Fiore dan melemparkan pada gadis itu.
"Dasar pelit! Ada uang tapi sengaja nggak mau ngasih."
Fiore memungut dompet yang berceceran di lantai. "Uang itu untuk Fariz, Ma."
"Fariz masih kecil. Nggak butuh uang banyak-banyak. Ngomong-ngomong, besok lo harus ada di rumah. Nggak peduli gimana pun keadaanya."
"Kenapa memangnya?"
Diorna menyeringai, giginya yang kuning terlihat jelas dari sela bibir yang membuka. Wajahnya yang keriput terlihat penuh kegembiraan yang aneh dan menyeramkan.
"Temanku, si Joko yang kaya raya itu naksir lo. Dia mau lo jadi simpanan dan gue setuju. Uang panjar udah gue terima. Gue jamin lo bakal hidup enak sama dia. Emang bini pertamanya galak tapi kalau lo bisa punya anak, perempuan tua itu pasti diam."
"Hah, Mama menjualku?"
"Halah, jangan sok teraniaya lo. Siapa yang mau jual lo? Gue nawarin hal baik buat lo?"
"Nggak mau!"
"Enak aja, uang panjang udah terima lo nggak mau? Nggak bisa, lo harus mau!"
"Kalau gitu aku nggak akan pulang! Enak saja Mama menjualku."
"Berani lo nggak pulang, gue bunuh adik lo itu!"
Pertengkaran mereka berlanjut semakin parah saat Dornia lagi-lagi kehilangan kendali. Membuka pintu kamar dan ingin memukul Fariz untuk memberi Fiore peringatan. Demi melindungi adiknya, Fiore menelungkup dan membiarkan tubuhnya menjadi sasaran kemaran Diorna. Ia sudah biasa dipukul dan dianiaya, bisa menahan semua rasa sakit tapi tidak dengan Fariz yang masih kecil.