2

6 5 0
                                    

Perpisahan
Bandung, Oktober 2000

AKHIRNYA...setelah 2 tahun aku menunggu, hari ini pun tiba.

Tidak ada yang dapat menggambarkan rasa senangku yang bermilyar-milyar nilainya ini. Aku akhirnya akan segera berangkat menuju Seoul untuk melanjutkan pendidikanku di sana. Tapi, tak hanya rasa senang yang hinggap dalam diriku. Rasa sedih pun turut andil menguasai diri ini. Selama 4 tahun ke depan aku akan jauh dari Ibu dan adik perempuanku. Meskipun pada awalnya langkah ini terasa berat, akhirnya aku pun sanggup untuk mengudara menembus awan, dan sampai di Negeri Gingseng pada Senin pagi.

Sehari sebelum hari keberangkatanku menuju Korea Selatan, aku menemui dia di salah satu tempat yang paling familier bagi kita; sebuah tempat yang kami sebut sebagai ‘markas rahasia’; tempat yang letaknya hanya berjarak 600 meter dari sekolah tempat kami mengenyam pendidikan.

Pukul tiga sore aku sampai di tempat itu, lalu menemukan dia yang tengah duduk termangu dengan buku dari salah satu penulis favoritnya: Mochtar Lubis. “Senja di Jakarta?” tanyaku dengan menepuk pundaknya dari belakang. “Buku yang cukup menarik!”

Ia menatap ke arahku dengan tersenyum. “Kamu lapar tidak?” tanyanya, lalu kemudian bergeser untuk memberiku tempat duduk. Aku pun duduk di sebelahnya. Menggeleng. Memberikan tanda bahwa perutku sudah penuh, karena sebelum berangkat ke tempat ini perutku sudah dibekali masakan Ibu.

“Tempat ini mungkin akan berubah tergerus waktu. Sayang sekali ya kalau kamu tidak bisa melewati perubahan itu...” ia memulai sebuah obrolan, seperti biasanya. Namun, hari itu kudengar suara yang begitu berat keluar dari kerongkongannya.

“Hanya untuk 4 tahun saja,” balasku seketika. Kuharap itu dapat untuk membuatnya sedikit tenang.

Ia tersenyum memandangi buku Senja di Jakarta yang berada di dalam genggaman tangannya itu. “Rasanya mungkin akan gelap seperti kisah dalam buku ini...tanpamu melalui hari-hari. Tapi, mungkin saja aku bisa melewatinya. Atau...” ia terhenti.

“Atau apa, Gagah?”

“Atau...aku mungkin tak bisa melewatinya,” lanjutnya, lirih.

Hari itu, aku melihat seorang Gagah Berani yang berbeda. Tidak seperti namanya. Hari itu ia tampak layu. Aku bahkan tidak berani menatap matanya yang sembab itu. Apakah dia sudah menangis? Apakah itu karena aku yang akan pergi meninggalkannya? Tidak. Aku hanya pergi ke Seoul untuk kelak kembali lagi, dan mendekapnya dengan erat setelah sekian lama tak bersua. “Aku akan kembali. Ini bukan untuk selamanya,” kataku kemudian, memecah kesunyian yang hadir di antara kita.

Gagah membuka tas ranselnya. Mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan menyodorkannya ke arahku. “Baca ini. Tapi nanti, setelah ragamu sudah tidak ada di negeri ini,” ucapnya.

Aku mengangguk paham.

“Kau tulis balasannya nanti saat kau kembali. Temui aku di tempat yang kau tahu...”

Aku mengangguk lagi.

Ini sungguh berat. Benar-benar sungguh berat bagiku. Bagaimana hari-hariku yang indah, yang telah kulalui berdua dengan Gagah akan menjadi hari yang kelak kurindukan, setelah jarak membentangkan raga kita. Entah, apa yang ada di dalam pikiranku. Yang jelas, aku pun merasakan hal yang sama seperti Gagah. Berat untuk berpisah; berat untuk menghadapi hari tanpa ada kita lagi di dalamnya. Aku memandangi sekeliling tempat ini. Sebuah tempat bekas halte yang sejuk karena ada pohon mangga yang rindang tumbuh di sebelahnya. Halte yang sudah lama tidak digunakan ini kemudian menjadi markas rahasia kami, karena letaknya yang lumayan jauh dari jalanan utama. Tempat ini adalah yang menjadi saksi tentang cerita apa pun yang tumpah dari kami berdua. Sungguh, aku akan benar-benar merindukan tempat ini.

Surat Terakhir UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang