4

5 4 0
                                    

Paruh Waktu
Seoul, Juli 2002

AKU mulai bangkit dari meja belajar dan meraih tas ransel yang tergantung di dinding kamar Apartemen. Hari itu, aku akan menepati janjiku untuk bertemu dengan seorang teman yang bernama Wi Ha-joon.

Kami berdua sepakat untuk bertemu di sebuah taman di dekat Kampus, untuk membahas tentang pekerjaan paruh waktu. Saat itu, aku berminat untuk menekuni kerja paruh waktu di sebuah Restoran di Distrik Dongjak, yang pada saat itu kebetulan Ha-joon mengenal pemilik Restoran tersebut.

“Hei, Aryani!” sapa Ha-joon sesaat setelah aku sampai di taman.

Aku membalasnya dengan senyuman.

“Bagaimana? Sudah membawa beberapa berkas yang aku sarankan?” tanyanya kemudian.

Aku mengangguk, lalu membuka tas ranselku. “Ini semua sudah lengkap, kan?” tanyaku, seraya menyodorkan beberapa berkas yang aku bawa.

“Tepat! Ayo kita langsung ke sana!”

“Sekarang?”

Ha-joon mengangguk, lalu berdiri dari duduknya. “Hari ini pemilik restorannya sedang ada di sana.”

Pada saat itu, ada satu hal yang membuatku tergerak untuk mencari pekerjaan paruh waktu. Selain untuk membiayai hidupku di sini, bekerja paruh waktu pun dapat membuatku mendapatkan relasi yang lebih banyak. Aku hanya berpikir, jika aku sudah lulus kuliah dan kembali ke Indonesia, aku bisa kembali ke sini dan bertemu dengan mereka untuk melepas kerinduan, juga menjadi jembatan bagiku untuk dapat tempat menginap gratis jika berlibur ke Korea Selatan suatu hari nanti. Terdengar lucu memang. Tapi mungkin Gagah akan setuju denganku. Sebab, dia selalu berpegang teguh pada prinsip “mengirit itu wajib” dan harus kita jalankan.

“Kau memang pintar, Aryani,” ucap Ha-joon saat mendengar alasanku tersebut.

Wi Ha-joon...dia adalah satu-satunya teman laki-laki di Kampus yang dekat denganku. Kedekatan kami dimulai ketika aku masuk ke Klub Sepak Bola Wanita di Kampus. Saat itu, Ha-joon yang merupakan kakak tingkatku di Kampus, mengambil bagian sebagai Tim Penasihat Klub Sepak Bola Wanita di Kampus kami. Ha-joon merupakan sebuah penasihat yang luar biasa dan mampu membawa Klub Sepak Bola Wanita Kampus kami berhasil meraih juara di Olimpiade Seoul.

“Nah, ini dia Ibu Yeona, pemilik Restoran ini,” jelas Ha-joon, memperkenalkanku dengan seorang wanita pemilik Restoran tempat di mana aku akan mengambil pekerjaan paruh waktu.

“Salam kenal...aku Aryani, dari Indonesia,” kataku kemudian.

Ia tersenyum. “Oh, Indonesia...aku suka beberapa makanan Indonesia!”

“Oh ya?”

“Sate...Bakso. Aku suka!...”

“Ibu Yeona sudah pernah ke Indonesia sebelumnya?” tanyaku kemudian, karena aku terkejut dia bisa tahu beberapa nama makanan dari Indonesia.

Ia mengangguk penuh semangat. “Sudah 2 kali ke sana. Aku ingin ke sana lagi!” jawabnya.

“Nanti ikut bersamaku saja!”

“Ya, ya, boleh! Ya sudah...kamu langsung diterima!” lagi-lagi aku dibuat terkejut, bagaimana bisa aku langsung diterima begitu saja. Bahkan dia pun belum melihat berkasku sama sekali.

Itu adalah sebuah keajaiban. Entah mengapa, Tuhan seperti tengah berpihak kepadaku, dengan mempertemukanku pada Ibu Yeona yang ternyata memiliki ketertarikan kepada tempat kelahiranku Indonesia. Setelah beberapa hari aku bekerja paruh waktu di Restoran miliknya, Ibu Yeona yang sudah berusia 48 tahun itu mengatakan bahwa ia juga tertarik dengan pria dari Asia Tenggara, dan semoga bisa menikah dengan pria dari Indonesia yang berkulit sawo matang, sesuai seleranya.

Surat Terakhir UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang