12

4 4 0
                                    

Aksi
Jakarta, Maret 2001

AKU baru saja selesai memimpin rapat organisasi di daerah Slipi. Saat itu, misi kami semua sama, menumbangkan pemerintahan yang kami anggap tidak mampu mengemban amanat reformasi. Kami semua sudah siap untuk turun ke jalan, dan menuntut Presiden Wahid agar segera mundur dari jabatannya.

Pada pukul sembilan pagi, aku dan sobat karibku yang bernama Bintang Mahesa Jenar, mulai menyusun siasat agar aksi kami nanti berjalan dengan lancar, tanpa hambatan apa pun. Aku dan Bintang yang masuk dalam kepengurusan BEM, mulai mengerahkan para Mahasiswa untuk bergerak dan bergabung menuju Senayan.

“Lu cari kabar dari anak-anak UIN yang udah ada di sana, bro!” ujar Bintang kepadaku.

“Aku sudah dapat kabar dari Bang Haris, di sana sudah pada kumpul. Hanya tinggal kita yang belum bergerak. Kita harus segera ke sana menyusul yang lain!” balasku.

“Oke, kalau gitu. Ayo!”

Ketegangan mulai terjadi. Ribuan Mahasiswa dari berbagai elemen sudah mulai memadati Gedung DPR. Aku dan Dimas Pradita mulai memaparkan orasi. Saat itu, ada beberapa tuntutan yang kami ajukan, dan salah satunya adalah Presiden Wahid agar segera mundur dari jabatannya. Kami menilai bahwa Presiden Wahid sudah tidak bisa menjalankan pemerintahan dengan efisien. Bahkan, semenjak menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-4, kesejahteraan rakyat Indonesia justru malah semakin terpuruk di tangan Presiden Wahid.

Bagi kami, Presiden Wahid sudah gagal dalam memulihkan perekonomian, menegakkan supremasi hukum, dan menjaga stabilitas nasional. Presiden Wahid bahkan tidak bisa menangani kasus Sampit dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang menewaskan ratusan warga Madura. Kami pun menyimpulkan bahwa: Gus Dur tidak mampu mengemban amanat reformasi. Itulah yang mendorong kami kemudian mengadakan aksi besar-besaran ini.

Beberapa waktu kemudian, aku bersama Dimas, dan Bintang, juga beberapa aliansi BEM se-Jawa dan Sumatra mulai mendesak RRI agar menyiarkan pernyataan kami. Setelah diberi izin, Dimas pun mulai membacakan beberapa tuntutan kami.

Sebenarnya, tuntutan kami sangat begitu sederhana. Kami meminta agar pemerintah meneruskan agenda reformasi, menurunkan Presiden Wahid dari kursi jabatannya, dan mempercepat pemulihan ekonomi di Indonesia.

“Korupsi, kolusi, dan nepotisme, Orde Baru, dan Partai Golongan Karya adalah musuh kita bersama!” papar Dimas.

“KAMU kapan pulang?” suara dari balik telepon itu membuat diriku lemas.

Aku mengerti Ibu pasti sangat mengkhawatirkanku yang sudah lama tidak pulang ke rumah. Terhitung sudah 3 bulan aku tidak pulang ke Baleendah. “Ya, Bu...minggu depan aku pulang,” jawabku.

“Iya, pulanglah, Gagah...adikmu dari kemarin nanyain terus kakaknya. Kami semua ini khawatir sama keadaan kamu,” suara Ibu yang lembut itu mampu menembus langsung ke dalam relung hatiku.

“Iya, Bu...”

“Oh iya...beberapa hari yang lalu pun Aryani menelepon ke rumah. Dia menanyakan kamu. Tapi, Ibu jawab kamu sudah lama tidak pulang ke rumah. Dia terus-menerus menelepon hanya untuk tahu kabar kamu! Pulanglah, Gagah...”

Sesaat setelah mendengar nama tersebut, bayanganku kembali mengembara ke beberapa tahun silam. Aku benar-benar rindu situasi di mana aku menjalani rutinitas harianku bersama Aryani. Itu adalah sebuah hal indah yang mungkin tak pernah bisa digantikan. “Salam dariku kalau dia menelepon lagi ya, Bu...”

“Pulang, Gagah...pulanglah!...”

“Iya, Bu...aku pasti akan pulang,” telepon kututup, dan kemudian aku mulai bergerak untuk kembali ke rumah kontrakan.

Aryani...bahkan untuk mendengar namanya saja aku sudah tidak sanggup. Sudah satu tahun kita berjarak. Adalah rasa sesak yang selalu hinggap dalam dadaku, apalagi ketika aku mengingat beberapa kenangan indah yang pernah kita lalui berdua. Aku masih mengingat bagaimana tawa indahnya terlukis ketika kita berdua berjalan-jalan di Pasar Buku Palasari, lalu menikmati masakan Bu Restu yang super lezat itu. Aryani bahkan bisa minta menambah saat makan di Warung Bu Restu. Apalagi, saat kami berdua menghabiskan waktu di markas rahasia, itu adalah momen yang sampai kapan pun tidak bisa tergantikan.

“Gah, gua ada beberapa urusan yang harus diselesaikan. Jadi, bulan depan gua bakalan pulang ke Padang,” ucap Bintang, membuyarkan lamunanku.

“Berapa lama?” tanyaku.

“Nggak tahu...tapi yang pasti entar gua bakal terus kabarin ke lu. Soalnya ini masalahnya lumayan urgent, bro!”

Bintang Mahesa Jenar, dia adalah sobat karibku yang juga satu almamater denganku. Sedang dia berkuliah di UI mengambil jurusan Sastra Inggris. Kami berdua banyak menghabiskan waktu bersama untuk hanya sekadar bertukar pikiran. Bintang bagiku adalah sosok yang luar biasa, dan mampu menciptakan beberapa perubahan besar bagi organisasi atas kepintaran otaknya. Selain pintar, Bintang juga bahkan bisa dibilang sebagai seseorang yang mampu meng-handle urusan keluarga. Dia yang memiliki 7 adik itu, mampu dengan baik mengurus keluarganya, pasca ditinggal mendiang sang Ayah. Kepulangannya ke Padang, itu adalah untuk urusan keluarga, di mana adiknya akan masuk ke Sekolah Menengah Atas. Bintang selain menjadi seorang kakak, dia juga menjadi seorang Ayah bagi adik-adiknya.

Beberapa waktu sebelum aksi kami ke Jakarta dimulai, sebenarnya aku hendak pulang ke Baleendah. Bintang pernah diajak satu kali ke rumahku, dan berkata kalau masakan Ibuku adalah masakan terenak yang pernah ia makan semasa hidupnya. Meskipun itu hanya sebuah masakan semur jengkol dan tempe goreng, baginya itu adalah masakan yang harganya sangat mahal sekali. “Yang mahal dari masakan Ibu lu adalah, berkumpulnya keluarga di meja makan,” ucapnya.

Pada saat Bintang datang ke rumahku, dia bertemu dengan Kinan, dan kemudian menanyakan kepadaku tentang adikku yang pada saat itu masih duduk di bangku kelas 3 SMA. “Adikku...”

“Kenapa lu nggak bilang kalau punya adik cantik!” protes Bintang.

“Jangan macem-macem ya!” kataku.

Entah apa yang terjadi setelahnya. Bintang dan Kinan memiliki kedekatan setelah pertemuan pertama mereka itu. Aku tahu, Bintang memang bisa dibilang cukup tampan untuk ukuran Mahasiswa Sastra Inggris UI. Bukan maksudku Mahasiswa yang lain tidak tampan. Tapi, Bintang memiliki kharisma tersendiri, dan dia mampu untuk memiliki kontrol atas apa yang ia kehendaki. Bisa dibilang, urusan dengan wanita, dialah juaranya.

“Jangan mudah terhasut oleh buaya, Dek!...” candaku kepada Kinan.

“Kalau Aa temenan sama buaya, ya Aa juga persis dong sama kayak dia,” balas Kinan. Seiring dengan pertumbuhannya, dia sekarang mulai jago dalam menimpali omonganku.

“Ya kalau Aa mah kan kamu tahu sendiri...”

“Apaan! Teh Aryani sering nelpon tuh ke sini. Aa kenapa sih nggak pernah ngabarin dia?”

Aku terdiam setelah mendengar perkataan dari Kinan tersebut. Itu adalah balasan yang menyakitkan dari Kinan kepadaku.

“Kenapa? Kok diem? Aa sudah punya pengganti Teh Aryani ya?” tanya Kinan, lagi.

“Heh! Kamu jangan bicara sembarangan!” bentakku.

“Ya habisnya kenapa Aa kayak nggak peduli sama Teh Aryani. Kasihan tahu dia, sering banget nelepon ke sini, nanyain Aa!”

“Iya. Nanti Aa telepon balik...”

“Kalau Aa udah nggak mau sama Teh Aryani, Aa harus bilang yang sejujur-jujurnya. Jangan sampe dia terus-menerus berharap ke Aa, tapi Aa nya nggak pernah peduli sama dia,” omongan dari Kinan itu lagi-lagi membuat dadaku sesak.

“Kamu sudah pintar menasihati Aa ya...”

“Habisnya Aa udah mulai nggak bener!”

“Iya, Aa nanti kabarin ke Aryani. Udah kamu jangan bawel gitu,” aku mencubit hidung Kinan. “Makan apa kita hari ini?” tanyaku kemudian.

“Ibu sama aku habis masak ayam goreng sama sayur asem. Aa makan dulu gih...” ujar Kinan.

“Iya...laper nih, habis ngurusin Indonesia!” aku pun beranjak menuju meja makan.

Surat Terakhir UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang