Bagian 47 : Seindah-indahnya Pakaian

968 44 5
                                    

"Ah begitu rupanya." Radhia, gadis itu secara mengejutkan malah tersenyum. Meski lengkungan itu kelihatan nyata, namun tatapan kosong dari sorot matanya membuat suasana ngeri. Kiyai Zaman sampai merinding melihat itu.

"Kamu ... tertawa?"

Tawa renyah Radhia mengisyaratkan keganjilan. Apa dia tengah senang, atau malah menandakan ancaman. Ibunya sampai menjauhi gadis itu beberapa langkah sebagai kewaspadaan.

"Lucu sekali, Ammi berkata begitu." Radhia menatap kiyai Zaman sarkastik. "Padahal ... Ammi sendiri punya dua istri?"

Kiyai Zaman terdiam seketika.

"Bisa-bisanya bertanya apa aku tega menjadi madu untuk sahabatku sendiri?"

Radhia terkekeh seolah menggelikan. Dibandingkan lucu, lancang justru lebih tepat untuk menggambarkan sikap Radhia dihadapan Kiyai Zaman sekarang ini.

"Ah, sudahlah." Radhia berjalan mendekat pada Kiyai Zaman. Ia memberi jarak dua langkah dihadapan pria berumur empat puluh lima tahun tersebut.

"Itu tandanya pria tetaplah pria, tabiatnya serakah dan egois. Jadi, tak perlu mengajariku seolah Ammi orang yang paling bijaksana di sini."

Kiyai Zaman untuk beberapa detik sempat terpaku mengartikan sikap Radhia yang menurutnya tidak wajar. Betapa lancangnya gadis itu berani menghakiminya secara blak-blakan.

"Innalillahi, Radhia ayo kita pulang, Nak. Ummi tahu, ummi ngerti kamu pasti merasa kecewa, kan? Sudahlah, kamu renungkan ini di rum—"

"Ummi bisa berhenti ajak aku pulang, kan? Aku tetap akan di sini," kata Radhia dengan sikap tenang. Ia tidak menangis ataupun marah seperti sebelumnya.

"Radhia, sebaiknya kamu segera meninggalkan pesantren ini," jelas Kiyai Zaman. 

"Perkataan  yang keluar dari mulutmu bukan berdasarkan dari pikiran yang jernih," lanjutnya lagi. 

"Saya akan carikan calon suami yang lebih tepat untukmu, tapi bukan Gus Rey." Pungkasnya.

"Nggak. Radhia cuman mau menikah dengan Gus Rey!" sentak Radhia dengan mata melotot menantang apa yang ada di depannya.

Tiba-tiba ponsel kiyai Zaman berdering. "Assalaamu'alaikum, na'am, ada apa?"

Saat itu Reyhan tiba-tiba merasa tidak tenang. Ia kepikiran ingin menghubungi kiyai Zaman untuk memastikan apakah Radhia sudah meninggalkan pesantren atau belum. Reyhan tidak akan mengajak Rumaysha kembali ke pesantren kecuali jika Radhia sudah tidak ada di sana.

Kiyai Zaman merasa harus bergerak entah itu secara lembut ataupun sebaliknya terhadap Radhia. Saat ini yang terpenting memenuhi permintaan Reyhan yang menginginkan keponakannya dipindahkan segera. Keputusan itu sudah bulat dan tak dapat diganggu gugat.

"Na'am. Saya akan mengurus semuanya. Wassalaamu'alaikum." Kiyai Zaman menyimpan ponselnya lalu berbisik pada ummi Radhia.

Wanita itu mengangguk angguk mengerti maksud kiyai Zaman.

"Begini Radhia, bagaimana kalau kita pulang dulu."

"Tidak mau," tolak Radhia tegas.

Radhia, Gus Rey sendiri yang akan mendatangimu di rumah. Apa kamu mengerti?"

"Gus Rey bilang akan mengunjungi aku di rumah?" jawab Radhia sedikit tak percaya. "Ummi jangan berbohong!"

"Ummi tidak bohong. Gus Rey akan datang nanti."

"Apa itu mungkin?" tanya Radhia memastikan lagi pada kiyai Zaman.

"Ya," jawab singkat Kiyai Zaman.

"Baiklah, kalau memang begitu, aku akan pulang bersama Ummi." Radhia pun tersenyum senang.

Dijodohkan Dengan Santri (Gus Reyhan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang