Sama sama belajar yuk, tandai typo⚠️
****
Joe memijat pangkal hidungnya, setelah pulang dari rumah Kaysan pusing menyerang kepala. Matanya kunang-kunang saat ia menatap datar selembar kertas polio dan dua sticker note berwarna kuning dihadapannya.
Setelah melihat gantungan kunci itu Joe langsung berpamitan pulang dan membawa tugas mereka. Itu sebabnya ia berada di kamar sekarang, duduk di kursi belajar.
"Benar-benar mirip," imbuhnya tidak percaya.
Joe berjalan menuju meja belajar dan membuka laci meja tersebut, tangannya mengambil kartu merah putih lalu menyimpannya kedalam ransel berwarna kream yang ia pakai untuk sekolah. "Kemungkinan kartu gue ada di cowok sialan itu."
Joe menghela nafas pelan, akibat terlalu fokus dengan masalahnya ia lupa bahwa masih mengenakan seragam sekolah dan belum mandi padahal sekarang sudah jam 7 malam.
Tangan mungilnya meraih handuk yang berada dibalik pintu kamar, badan terasa lengket dan pegal. Kalau saja ada abangnya pasti beliau akan mengatai bahwa Joe bau, dekil, jelek.
Ceklek
Baru membuka sedikit pintunya suara kedua orang tua Joe terdengar membuat gadis itu mengurungkan niatnya.
Prang!
Joe memegangi dadanya, kaget.
"Cuma masak ini?" Suara Hera, ayah Joe terdengar kesal.
"Seharusnya kamu bersyukur aku masih masak," cibir Rea, mama Joe.
"Kamu gimana sih? Uang segitu aja gak becus ngurusnya?"
"Kamu bilang gak becus? Uang 500 ribu untuk satu bulan kamu anggap uang 50 juta? Banyak pengeluaran, mas! Untuk makan kamu saja sehari 50 ribu kurang, gimana dengan keperluan lainnya?!" Bentak Rea tidak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya.
"Beras kita sudah hampir habis, tagihan listrik sudah nunggak bulan kemarin besok kalau orang PLN datang ke rumah aku harus bilang apa? Uang 500 ribu itu aku sisipkan untuk bayar tagihan listrik, masih kurang becus aku mengurus uang?" Keluh Rea menatap lelah Hera malah menatap istrinya dengan tatapan permusuhan.
Mulai lagi
Hera sering marah-marah tidak jelas, selalu memulai perdebatan dengan Rea. Rea selalu terpancing dan mengatakan kebenaran yang Hera tidak mau mengakuinya. Joe tahu, kadang Joe ingin merelai mereka dengan perkataan yang menyakitkan agar mereka juga tahu bahwa Joe tertekan jika mendengar dua orang yang tidak dapat disebut orang dewasa itu bertengkar.
Joe tidak menangis, tapi ia merasakan sesak di dadanya.
"Uang itupun ada karena aku menggadaikan cincin dari ayah bukan dari kamu."
Joe pernah mendengar cerita Rea kepada Reval, abang kedua Joe, itu satu-satunya barang peninggalan kakek mereka yang didapat susah payah. Rea tidak pernah berniat menggadaikan atau menjualnya, tapi sekarang sang mama terpaksa menggadaikan karena mereka benar-benar butuh.
Gaji Reval hanya bisa menunjang hidupnya dan menyekolahkan Joe. Sisanya Reval tidak diijinkan oleh Rea, abangnya sudah di usia menikah Rea tidak tega jika Reval harus terus menafkahi ibunya. Reval bahkan harus mengubur cita-cita dan memilih menjadi tulang punggung.
Kadang Joe sedih saat melihat mereka bertengkar karena ekonomi, seakan semua semangatnya hilang ia ingin membantu dengan bekerja paruh waktu tapi Reval melarang.
Kamu fokus sekolah aja, gak usah memikirkan hal yang seharusnya gak kamu pikirkan.
Mamanya juga berkata begitu, ayahnya? Entahlah. Mereka melarang Joe memikirkan ekonomi keluarga tapi mereka bertengkar mengenai hal tersebut dihadapannya. Katakan, bagaimana caranya Joe tidak kepikiran? Ia dipaksa menjadi beban yang tidak boleh terbebani padahal sudah terbebani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Is This Reality?
Teen Fiction"Aku siap ada di sisi kamu dalam keadaan apapun, meskipun kamu ragu. Tapi aku gak akan ragu untuk tetap mendampingi kamu." Dia adalah Kaysan. Kalau ada kata lebih dari tulus, itu Kaysan. **** Joe mengakui bahwa perasaannya untuk Kaysan hanya sebatas...