Lebur sudah meditasiku.
Langkahku untuk moksa pupus di tengah jalan.
Mataku yang hampir satu warsa memejam, seketika mendelik pada biang kerok yang berlagak tanpa dosa. Kegelapan gua tak menjadi penghalang untuk melihat pemuda yang menjulang di hadapanku sembari memukul kentungan keras-keras.
Tung-tung-tung-tung-tung!
Segala emosi yang mulanya berhasil kukuasai di bawah meditasi, sekarang melonjak sampai ubun-ubun. Aku bangkit dari posisi bersila, terhuyung karena kakiku kebas. Alhasil, biang kerok itu makin gencar memukul kentungan sambil menertawaiku.
"Bocah biadab!" Aku melesat dengan tubuh condong ke depan hingga kepalaku menumbuk perutnya yang tak tertutup kain.
Sibuk terbahak membuatnya tak sempat mengelak. Ia terpental, tetapi kemudian melempar pemukul kentungan hingga terdengar bunyi "tung" tepat di kepalaku.
Aku menggeram, mengepalkan tinju pada rahangnya. Ia dengan sigap menangkis tanganku, memuntir, kemudian menjambak rambutku dengan tangannya yang lain. Ia merapatkan tubuh, bau keringat menyengat hidungku.
"Siapa kau?!" Mati-matian aku menahan ekspresi menantang meski ingin sekali meringis nyeri.
"Nyai jangan munafik! Berlagak melakukan tapa seperti pendeta. Padahal dosanya melampaui ketinggian Gunung Rogojembangan," serunya dengan mata berkilat-kilat. Pandangan itu mengisyaratkan dendam yang segera menuntut balas.
Mumpung tubuhnya mepet denganku, aku memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk mendengkul burungnya. Teriakannya membangunkan kelelawar penghuni gua. Tanganku memayungi kepala supaya tak tersambar kepakkan sayap mereka.
"Sundal keparat! Hancur sudah masa depanku," rintihnya kemudian meringkuk kesakitan.
Kakiku mendarat di atas pinggangnya selagi kugapai keris di balik kendit. Aku membungkuk, menekan senjata itu di atas jakunnya yang naik-turun. Sekarang gentian rambutnya yang kujambak sampai ia mendongak.
"Katakan apa maumu sebelum aku telanjur menyembelihmu!" gertakku.
"Aku ingin me-menuntut keadilan," ujarnya terbata-bata.
Gayanya saja lelaki perkasa. Berhadapan dengan keris kecil saja sudah ciut, batinku.
"Kita tidak saling mengenal. Keadilan apa yang kautuntut dariku?" Aku semakin menekan lempengan besi itu di lehernya.
Ia memejamkan mata, keringat sebesar biji jagung bermunculan di dahinya. "Nyai pantas dihukum."
"Katakan terus terang! Lelaki jantan takkan banyak omong."
"Nyai menghanyutkanku saat aku bayi."
Aku terkesiap, menjauhinya dengan pandangan kosong. Kerisku jatuh berkelontang di lantai batu gua. Ia bangkit, kurasa burungnya sudah membaik lantaran tak menampakkan raut kesakitan lagi saat mendekat hingga punggungku menubruk dinding gua.
"Siapa yang menceritakan itu?" hardikku dengan napas memburu, menanggung sekelebat ingatan yang menghunjam kepalaku.
"Tak penting siapa yang memberitahuku soal dosa besarmu, Nyai Bagelen. Aku, Jaka Banyu hendak melakukan apa yang kala itu Nyai lakukan padaku."
"Kau salah paham, Banyu."
"Perempuan gila mana yang membuang anaknya sendiri?! Nyai cuma mau enak-enaknya saja, tapi tak mau tanggung jawab terhadap kehidupanku."
"Siapa yang bilang kau anakku? Kau salah paham. Siapa pun yang menceritakan asal-usulmu, dia tak tahu semuanya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaka Banyu
Historical FictionHanya Jaka Banyu yang berani mengusik pertapa menggunakan kentungan. Ia hendak mengusut masa lalu sebelum pertapa itu moksa, hilang takkan bereinkarnasi lagi. Namun, jika salah orang, apa yang bakal dilakukan pertapa itu untuk melampiaskan amarahnya...