Bagian 5

35 12 4
                                    

Lungayu masih belum berhenti melayangkan senyum paksanya di depan pria tampan yang satu jam belakangan menceritakan semua hal tentang dirinya. Pria berahang tegas dan berambut coklat itu adalah teman kencan pertamanya dari dating apps.

Berharap menemukan seseorang pengertian yang bisa diajak mengobrol, Lungayu justru dihadapkan oleh pria gila narsistik yang tak habis-habisnya menceritakan aset yang ia punya.

"Kalau kamu gimana? Kalau di profil kamu sih aku liat kamu jurnalis, udah berhasil ngapain aja?" tanya pria bernama Albert itu.

Lungayu tak lagi kaget mendapatkan pertanyaan gila macam itu. Sejak lima belas menit pertama percakapan mereka, ia sudah bisa menerka ke arah mana percakapannya dengan Albert akan berjalan. Karen rasa ketertarikannya yang hilang, Lungayu tak lagi berusaha meninggikan dirinya.

"Baru sih jadi jurnalis, 2 tahunan. Kalau pencapaian belum yang gimana-gimana sih. Gak sebanding sama kamu lah pokoknya," jawab Lungayu sambil menahan mati-matian hasratnya untuk menyiram koktail ke wajah pria sialan di depannya.

"Oh gitu. Berarti masih merintis lah ya?" tanya pria itu lagi. Lungayu mengangguk, "hehe iya..."

"Aku mau nanya deh, tapi maaf banget nih ya— kamu biasa date emang pake baju kayak gitu, kah?" tanya Albert yang sukses membuat Lungayu cukup terkejut. Tak menyangka pria itu akan mengomentari pakaiannya.

"Emangnya kenapa? Gak juga sih," jawab Lungayu yang kini menerka-nerka respon pria di depannya.

"Apa gak terlalu terbuka ya? Apalagi kamu jurnalis, hati-hati lho."

Lungayu menghapus senyum paksa di wajahnya. "Hah? Hati-hati kenapa? Baju gue biasa aja kayaknya, banyak juga kok yang pake beginian."

Kini Lungayu sudah tak bisa menahan kepura-puraannya untuk terus berbicara lembut.

"Iya sih, tapi kayak gak pantes aja."

Lungayu sukses dibuat melotot. "Excuse me? Maksudnya apa ya? Kenapa menurut lo gue gak pantes?" tanyanya dengan nada nyolot. Jelas ia tidak terima atas kalimat frontal yang dilayangkan pria di depannya.

"Eh maaf ya kalo kamu tersinggung, tapi kayak dari postur badan sama branding-an kamu kan jurnalis gitu ya, jadi gak pas aja sih menurutku," jelas Albert.

Lungayu tertawa sinis. "Branding-an apa sih? Perasaan dari tadi gue gak bacot soal pekerjaan gue. Malah lo yang banyakan cocot, flexing mulu. Lagian siapa lo komentar soal outfit dan postur badan gue?"

"Ya kan itu pendapat aku aja, kamu anti kritik ya ternyata."

"What the fuck?! Are you being serious?"

"Ya udah lupain aja, aku gak bermak—"

"Udah deh, cocot lo emang enteng banget ya kalo ketemu orang pertama kali? Dari awal lo pamer mulu, gak ada yang peduli mau bapak lo punya perusahaan sepuluh kek, restoran lo seratus kek— kalo bacot lo banyak kayak gitu, juga gak akan ada yang mau sama lo," ungkap Lungayu marah-marah. Kini ia bangkit dari kursi dan hendak beranjak dari sana.

"Ya dikira kamu semenarik itu? Dikritik sedikit aja kok gak bisa, aku pamer karena memang punya— kamu kan diem karena emang gak punya apa-apa."

"WAH SINTING LO!" teriak Lungayu yang tentu menarik perhatian orang-orang di restoran.

Tak ingin berhadapan dengan Albert lagi, ia segera berjalan cepat ke luar dari restoran. Lungayu tak menyangka bisa bertemu orang segila itu.

Kesialan tak berhenti sampai di sana, karena ketika ke luar dari restoran, Lungayu mendapati hujan deras turun disertai dengan angin yang cukup kencang. Tak ingin mati kedinginan, ia segera memesan taksi online. Lungayu tak punya tenaga lagi untuk menghubungi Jasmine ataupun Indira. Dua sahabatnya itu pasti akan menagih cerita tentang kencan pertamanya. Alih-alih bercerita, Lungayu justru ingin sekali mengubur dalam-dalam kejadian beberapa menit yang lalu.

All That MattersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang