BAB 113: Perjalanan Tugas Baru

17 5 0
                                    

Setelah Mery mengusap air matanya dan Kak Kila mundur ke belakang untuk melepaskan masker dan sarung tangan, perlahan gue memperhatikan sekitar. Saat ini gue ada di ruang medis. Di kantor.

“Mardo udah gak apa-apa, kan, Kak?” tanya Mery pada Kak Kila di belakang.

Kak Kila menghampiri lalu menyentuh kening gue.

“Oh, ini tinggal dicium, kok. Saya atau kamu yang cium dia?”

Buset! Karena panik gue langsung duduk dan menutupi dahi gue dengan kedua tangan.

“Sebaiknya kamu segera ke ruangan Si Bos. Mereka sudah menunggu sejak tadi malam,”

“Sini, Do. Gue bantu.”

Mery membantu gue turun dari ranjang lalu berjalan meninggalkan ruang medis. Jujur aja, saat ini tubuh gue gak berasa ada masalah di manapun. Tapi entah kenapa, dari jarak sedekat ini sama Mery, gue gak bisa mencium aromanya yang biasanya wangi banget itu.

“Tengkyu, ya Mer. Lo gimana? Ada luka nggak?”

“Enggak, kok. Lo parah banget, tahu, Do. Gue sampai nangis karena gue pikir lo udah mati,”

“Emangnya gue kenapa, Mer? Kayaknya gue cuma pingsan, deh.”

Mery yang berjalan di samping gue menuju ruangan Si Bos, tiba-tiba mencubit pipi gue.

“Ya emang cuma pingsan, tapi gak 9 jam juga, dong! Belum lagi waktu semuanya bingung nyari lokasi jatuh lo. Semuanya panik, tahu!”

“A-aduh sakit!”

Sialan Si Mery. Dia gak tahu, ya kalau kuku dia itu panjang!?

“Yang penting sekarang gue udah baik-baik aja, kan?”

Beberapa langkah sebelum menghadap pintu ruangan Si Bos, gue menarik tangan Mery, menghentikan dia berjalan.

“Kenapa, Do?”

“Sampai sini aja, Mer. Tengkyu, ya udah bantu gue jalan. Lo jangan nangis-nangis lagi.”

Mery tersenyum, menggenggam tangan gue sebentar lalu berbalik dan melangkah menuju kantin. Gue gak mau Mery ikut menyaksikan dan merasakan tekanan aura aneh dari dalam ruangan Si Bos sekarang. Ditambah lagi, gue gak tahu di mana pedang gue berada.

Pintu ruangan Si Bos terbuka sendiri. Gue langsung menatap punggung Dea yang berada di antara Sulay dan Torgol. Mereka berbalik badan dan menatap gue.

“Do!”

Dea langsung berlari dan memeluk gue dengan sangat erat. Dan lagi-lagi, gue gak mencium aroma bunga mawar seperti biasanya. Gue pilek atau apa ini!?

“Kamu gak apa-apa, kan, Dea? Kamu gak luka, kan?”

Dea menggeleng.

“Mardo!”

Gue menelan ludah saat mendengar suara itu. Si Bos menatap tajam sambil minum kopi dengan tangan kirinya. Gue langsung terbayang sosok Si Bos muda saat bikin sumur di Janamana. Sulay cuma menunduk waktu Si Bos melempar cangkir kopinya ke samping kepala gue.

“Hari di mana peluncuran fitur dan layanan baru kita, berubah menjadi bencana besar. Saya mengharapkan penjelasan yang logis sebelum membuat keputusan,”

“M-mohon maaf, Bos. S-saya gak nyangka mereka b-bisa d-datang ke sini,”

“Ini semua gara-gara orang kalian sendiri yang membuka portal gaib!” sahut Dea.

Si Bos mengepalkan tangan kanannya di atas meja sambil menatap Dea.

“Tindakan Burhan memang tidak bisa dimaafkan. Tapi … kamu dan Mardo-lah yang telah memancing kemarahan Heshita!”

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang