Beruntungnya Memiliki Dia.

8 1 0
                                    

Jikapun nanti kamu jatuh, percayalah, aku akan selalu ada di sisimu.

Albian Razaq
.
.
.
Happy Reading...
.
.
.

Dua bulan berlalu begitu cepat, tidak pernah menunggu manusia yang sempat tertinggal dalam menjalani kehidupannya. Begitu banyak cerita hidup yang terus terukir dalam garis takdir. Sakit dan senang selalu menghampiri tidak peduli seperti apa manusia yang merasakannya.

Berisiknya jalanan Jakarta selalu menjadi kesukaanku ketika telah duduk di samping orang yang aku cinta. Di dalam bangunan bertingkat yang saat ini tengah ramai oleh manusia yang sibuk dengan diri sendiri, aku tengah duduk di kafe dalam mall Ibu Kota.

"Kamu mau kue coklat yang tadi kamu lihat?" di sela-sela meminum secawan jus alpukat, mataku menatap lekat Bian yang baru saja bertanya.

"Uangnya terlalu banyak ya buat disimpan?" ia terkekeh ketika aku menghentikan sedotanku pada minuman favorit yang kini bertengger di atas meja kafe.

"Bukan gitu. Tadi aku liat kamu kayak mau banget."

"Mau banget tidak harus memiliki."

"Ya kamu nggak punya uang makannya nggak mau memiliki." aku menyengir pada sosok Bian yang kini tengah rapi dengan baju kemeja kotak-kotak berwarna biru tua.

"Ya mau gimana lagi," tuturku kembali menghisap sedotan yang beberapa detik lalu menganggur.

Saat berkeliling mencari baju yang kuinginkan, tidak sengaja aku bertemu dengan beberapa rak berisi kue coklat yang terlihat bagus dan mengunggah indra perasaku. Aku juga tidak tahu jika hal itu sempat terlihat oleh Bian yang ternyata terus membuntutiku.
Sebenarnya aku bisa saja membelinya, tapi jika harganya terjangkau. Sayangnya saat kulihat label harga di kotaknya, aku sampai mengatakan penjual nggak ngotak ngasih harga semahal itu. Bayangkan, kue yang besarnya pas dengan piring hidangan prancis bisa dilabeli harga 250 ribu rupiah. Gila sekali bukan?

"Makannya aku mau beliin kamu." Bian kembali bersuara.

"Nggak usah," jawabku cepat.

Merasa jika jus alpukatku sudah habis, aku memutuskan mengedarkan pandangan ke penjuru mall yang terlihat padat. Masih di bagian kafe, aku terus melihat pelanggan yang berdatangan. Mana tahu aku kenal dan aku akan menghitung setiap orang yang aku ketahui identitasnya.

Namun, alih-alih beetemu dengan orang yang dikenali, aku malah merasa jika mataku akan lepas dan berjalan mengelilingi semua sudut mall hanya karena melihat dua orang yang tengah duduk dengan ponsel yang ada di atas mejanya.

Aku tidak pernah menyangka jika mataku masih mengenali dua sosok manusia yang paling ku hindari sejak lama. Sosok yang sampai saat ini begitu aku benci keberadaannya di dunia ini. Bukan satu orang yang ada di sana, melainkan dua orang dengan umur yang berbeda dan berjenis kelamin yang sama—perempuan.

Jika aku tahu jika tempat ini adalah tempat di mana hatiku hanya merasa sakit, rasanya aku tidak perlu datang ke sini. Bian hanya diam, tidak memperhatikan arah mataku, ia lebih memilih sibuk dengan ponselnya.

Rasanya sudah cukup beristirahat di sini. Aku ingin pergi, menghidari dua manusia dengan pakain modis dan sedikit terbuka. Aku menoleh ke arah Bian. Rasanya tubuhku begitu ingin pergi dari sini—secepatnya.

"Bi, kita pergi yuk!" ajakku dengan mata yang tidak lepas dari nayanika pria tampan itu.

"Kok cepat?"

"Kalau kamu masih mau di sini gak pa-pa kok, biar aku yang pergi."

Bian terkekeh, lalu berdiri disusul olehku yang akan meninggalkan kafe.

Oktober ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang