7. Jangan Pergi

12 5 0
                                    

Happy reading!

Absen dulu, kalian moci isi apa?

***

Asahi membanting pintu rumahnya, cowok itu menyandarkan kepalanya di pintu, ia memejamkan matanya sebentar dan menarik napas dalam-dalam. Saat membuka matanya, Asahi dikagetkan oleh seorang wanita yang tengah duduk di ruang tamunya.

"M-mama?"

Arumi, wanita berambut sebahu itu memakai setelan kantoran berwarna serba biru pastel dengan heals hitam tinggi. Arumi berjalan mendekati Asahi lalu tiba-tiba melayangkan satu tamparan keras di pipi Asahi hingga kepalanya tertoleh ke samping. Rasa panas mulai menjalar di sekujur pipi kirinya.

"Kemana saja kamu?!" kelakar Arumi, "saya, menunggu dua jam di sini!" lanjutnya.

"Saya sudah tidak ada waktu untuk basa-basi dengan kamu!" sergah Arumi. Kemudian, wanita itu melempar sebuah kertas hingga mengenai wajah Asahi. Asahi yang kaget dan masih mencerna situasi yang terjadi itu hanya bengong di tempat.

"Baca!" titah Arumi, Asahi langsung membacanya walaupun dengan pikiran setengah sadar.

Kedua alis cowok itu mengkerut, jantungnya tiba-tiba berdegup kencang dari biasanya, tenggorokannya terasa tercekat saat membaca surat itu.

"Bagaimana? Kamu, siap kan?" tanya Arumi sembari melipat tangan di depan dada.

Asahi menelan ludahnya susah payah, ia menatap wajah Arumi lekat, cowok itu kemudian mengangguk pelan, "Asahi, siap kok, ma."

"Bagus, nanti secepatnya saya share lock," pungkas Arumi. Setelah itu, Arumi langsung melangkah menuju pintu dan keluar dari rumah Asahi.

Asahi seperti di jatuhkan dari ketinggian, ekspetasinya ternyata terlalu tinggi. Ternyata... Arumi masih saja sama seperti dahulu.

Asahi berekspektasi kalau ia bertemu Arumi ia akan mendapat pelukan dari nya, ternyata Asahi salah, ia malah mendapat tamparan dari wanita itu. Hatinya terasa begitu sakit dan perih bagaikan luka basah di kasih garam. Asahi menatap kertas di genggaman tangannya. Kemudian, tanpa disuruh, air matanya mentes di atas kertas putih itu.

***

Malam yang begitu terasa dingin dan sepi, Neira tengah berdiri menatap jendela kamar Asahi yang masih terlihat gelap. Kamar mereka sama-sama di lantai dua dan jendela kamar mereka berhadapan. Neira tiba-tiba teringat kenangan mereka dahulu waktu membuat telepon mainan dari kaleng susu yang terhubung dengan tali panjang dan mereka akan saling cerita banyak hal lewat telepon mainan itu. Mereka memiliki banyak kenangan masa kecil, mereka akan menghabiskan waktu bersama hanya untuk bermain dan bersenang-senang tanpa memikirkan hal lain.

Neira memandang pesan Asahi tadi siang, Neira menyesal karena tidak mengabari cowok itu. Namun, ia memiliki alasan tersendiri untuk itu.

Lamunan Neira buyar ketika pintu kamarnya di dobrak oleh Andra, ayahnya itu berjalan sempoyongan kearahnya sambil mengadahkan satu tangan ke arah Neira.

"Mana uang hasil kerja mu?" sergah Andra. Neira sudah menduga ayahnya itu sedang mabuk berat.

Neira menggeleng kaku sambil berjalan mundur sampai terpentok pada tembok. Jujur, Neira sangat takut kalau berhadapan dengan ayahnya yang sedang mabuk. Walaupun seperti ini sudah sering terjadi, Neira tetap takut dengan ayahnya.

About Them [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang