38. telling

7.4K 508 99
                                    

Spontan, kelopak mata gadis yang duduk di pangkuan melebar, ekspresi wajah menjadi kaku dengan bibirnya sedikit terbuka.

Tidak mempedulikan keterkejutan Delmora, justru ingin mengecap rongga mulut itu lagi, menikmati tekstur kenyal yang sudah akrab di dalam mulutnya. Pucuk lidah ia timbul menyentuh sudut mulut kiri percis ular mengintip dari lubang, ditambah sorot mata yang fokus membuat ia tampak seksi jika saja Delmora perempuan normal yang mudah tergoda.

Tetapi, apa yang terjadi? Bukannya menyadari keinginan sang suami, Delmora yang sadar seperkian menit selepas terhenyak, makin melebarkan mata dan mengusap rambut Dylan ke belakang, membuat penampilan suaminya kacau dengan seluruh dahi terpapar.

Ia menyeringai, memegang kedua lengan Delmora dan dipindahkan lagi ke pundaknya. Rambut depan yang berantakkan membuat penampilan yang kacau justru makin memukau. Setidaknya begitulah di mata perempuan pada umumnya, bukan di mata Delmora.

Ingatlah bahwa perempuan itu masih gila.

Tidak ada niat merapihkan diri, sekilas melihat gorden dan bayangan hujan masihlah tampak luruh ke bumi. Memang sangat pas berduan bersama istri.

"Kau?" Suara Delmora bergetar.

"Sungguh membunuhnya," sambung ia pada sepasang mata yang masih terbelalak belum menormal. "Muak sekali mendengar teriakan manusia yang hendak atau sedang digorok, kemudian dagingnya dirobek-robek tanpa rasa bersalah. Mereka seperti setan di malam-malam tertentu."

Perkataannya bagai desisan, bukti bahwa dia jijik terhadap hidup kedua orang tuanya.

"Lalu kenapa tidak makamkan kedua orang tuamu?!" Intonasi Delmora mulai berapi walau pelan menekan.

"Aku masih ingin melihat wajah mereka," jawabnya. Mata berseri namun tatapannya tidak lagi fokus pada Delmora, kini menerawang ke meja di ujung sana dekat jendela kaca. "Kuurus mereka, kuawetkan tubuh mereka, sayangnya tidak lama kesatria inti yang kubiarkan hidup mengadu pada raja. Aku dipenjara selama dua bulan, dan pulang mayat mereka membusuk."

"Pembalsaman hanya bertahan sepekan," tambahnya seraya melirik pada sepasang mata chrysolite yang suram dan nanar. Dylan yang mengalami, tapi entah kenapa Delmora yang seperti kehilangan.

"Kau menyesal membunuh mereka?" tanya Delmora dengan suara kecil.

Membingungkan cara menjawabnya. Ia diam, terjebak di tatapan gadis yang menunggu jawaban. Lantas bergeser ke samping agak belakang sambil memegang kedua panggul Delmora. Tangan terhulur mengambil sampanye dan gelas di atas nakas sisi ranjang.

"Tuangkan," perintahnya memberi botol yang ragu-ragu diterima.

"Jawab aku."

Dylan hentikan tuangan setengah gelas, memerintah botol ditaruh begitu saja di atas ranjang.

"Puas." Ia goyangkan gelas perlahan sampai aroma menguar, dan Delmora sesekali menyeka hidung menggunakan punggung jemari. "Itu keinginan sejak aku 15 tahun."

"Biarkan aku tahu lebih banyak tentang suamiku, agar bisa membelamu, agar dapat menilai sesuai tilaianku. Buruk atau baik tentangmu, biarkan aku menilai sendiri. Jawabanmu ini seakan kau sedang memandang buruk orang tuamu dan dirimu sendiri, Pembunuh."

Dylan sesap sampanye sedikit banyak, menatap lekat pada ekspresi Delmora yang bertaut alis.

"Walau reputasimu jelek di mata bangsawan, setidaknya kau bisa mengambil hatiku untuk tidak membenci perilakumu. Aku, aku merasa hina selama ini karena menikah dengan pembunuh."

"Biarkan diriku dipandang begitu," balas Dylan dengan tangan kiri mengusap ujung bibir Delmora.

"Kau menyesal! Aku tahu! Mata tidak bisa berbohong, Dylan! Jika kau tidak menyesal, itu tidak wajar! Kau sangat marah begitu aku menghancurkan piano ayahmu! Ekspresimu berubah jika bersangkutan dengan orang tua!" tuduhnya.

Your Grace, Kill Me NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang