[18]

968 112 1
                                    

Farid menghembuskan napasnya berat. Ia memejamkan matanya, berusaha menenangkan dirinya. Setelah satu menit terdiam, ia pun keluar mobil dan menghampiri rumah yang akhirnya bisa ia kunjungi.

Farid bisa melihat pintu rumah yang terbuka lebar dan Naira duduk di kursi yang ada di teras. Perempuan itu tersenyum lebar kala Farid melangkah lebih dekat.

"Udah siap?" Bisiknya. Naira memang tahu sejak tadi Farid sudah sampai depan rumahnya, tapi tak langsung masuk. Ia pun memaklumi wajah gugup Farid.

"InsyaAllah." Balas Farid berusaha yakin.

"Ya udah, yuk masuk." Naira pun mengajak Farid masuk. Wanita itu lalu memanggil kedua orang tuanya. Dan Farid bisa melihat pasangan paruh baya yang menghampirinya. Ibu Naira tampak tersenyum ramah, sedangkan suaminya menatap Farid waspada.

"Saya Farid, Bu, Pak, temannya Naira." Ujarnya memperkenalkan diri sambil menyalami mereka.

Setelah itu mereka pun duduk. Naira ijin mengambil minum, dan Farid diserang kikuk karena ditatap dua orang di hadapannya. Untungnya Naira tak lama, dan setelah itu Naira membantu Farid untuk membuka percakapan.

Pembicaraan mereka tak jauh dari pekerjaan Farid, kegiatannya, usianya, dan hubungan Farid dengan Naira. Percakapan mereka cukup santai, tapi ia menyadari bahwa ayah Naira belum benar-benar menerimanya. Lelaki paruh baya itu terus menatapnya waspada, seakan Farid akan membawa kabur anaknya dan mengajaknya kawin lari.

"Kenal Naira darimana, Nak Farid?" Tanya Rida, ibu Naira.

"Kami dikenalin Mbak saya, Bu. Kebetulan Mbak saya kakak tingkatnya Naira di kuliah dulu."

"Terus udah dekat berapa lama?" Tanya Hasan, bapak Naira. Ini adalah pertanyaan pertama yang keluar dari lelaki itu.

"Sekitar tiga bulan, Pak."

"Dan kamu sudah berani datang ke sini?" Tanya Hasan lagi. Tatapan lelaki itu cukup mengintimidasi Farid.

"Saya punya niat serius dengan Naira, Pak. Dan saya rasa, waktu tiga bulan sudah cukup untuk meyakinkan saya. Lagipula umur saya sudah tidak muda lagi, saya nggak ingin main-main." Jelas Farid. Ia bisa merasakan Naira yang duduk di sebelahnya jugs ikut tegang.

"Lagian Bapak kan nggak suka aku pacaran. Bapak juga pinginnya aku cepet nikah, kan?" Timpal Naira.

Hasan berdehem sejenak. "Jadi, kamu sudah yakin dengan anak saya? Naira itu anak saya satu-satunya, dan saya nggak mau memberikan Naira ke orang yang tidak tepat."

"Insya Allah saya sudah yakin, Pak. Insya Allah juga saya sudah siap baik itu secara fisik, mental dan finansial."

Melihat kesungguhan Farid, Hasan pun mulai melembut. Sikap sopan dan percaya diri Farid cukup mengesankannya.

"Nai.." panggil Hasan yang sekarang memfokusnya tatapan pada anak semata wayangnya. "Bapak memang punya hak untuk merestui atau nggak, tapi Bapak juga mau tahu pendapat kamu gimana."

"Aku mau, Pak. Insya Allah aku juga udah siap dan yakin sama Mas Farid."

"Tapi kalian baru kenal tiga bulan." Ucap Hasan ragu.

"Bapak selalu bilang untuk terus berdoa. Aku terus berdoa, Pak. Aku minta ke Allah, kalau memang Mas Farid bukan jodohku, aku minta untuk dijauhkan, tapi sejak kenal Mas Farid, aku malah yakin untuk berumah tangga sama Mas Farid. Aku nggak pernah seyakin ini, Pak."

Farid menunduk, sedikit tersentuh dengan perkataan Naira. Dan ia mengakuinya, ia pun belum pernah seyakin ini akan sesuatu. Dulu saat ia menikah dengan Binar, ia tak pernah memiliki keyakinan apapun. Ia bahkan ragu karena ia tahu, semua hal yang ia bangun dengan Binar berawal dari kesalahan.

"Apa yang kamu suka dari dia?" Hasan masih bertanya pada anaknya.

"Mas Farid kayak Bapak." Jawaban Naira pun membuat Hasan mengernyit.

"Maksudnya?"

"Mas Farid orang yang bertanggung jawab, apapun risikonya. Mas Farid juga penyayang, tapi nggak bisa ngungkapinnya, sama kayak Bapak. Bapak jarang banget bilang sayang ke aku sama Ibu, tapi aku tahu Bapak sayang banget, karena Bapak bakal lakuin apapun untuk aku dan Ibu. Liat Mas Farid sama kayak aku liat Bapak. Pendiem, kayak yang cuek, tapi hatinya lembut." Naira terkekeh pelan.

Hasan mengalihkan tatapannya. Sedikit tak menyangka bahwa anaknya akan berkata seperti itu. Farid yang mendengar itu pun menunduk malu, ia baru tahu bahwa pandangan Naira terhadapnya seperti itu.

"Kalau kamu memang tahu mana yang terbaik untuk diri kamu sendiri, Bapak sama Ibu cuman bisa dukung, Nai. Dan berdoa semoga pilihan kamu nggak salah."

Mendengar itu, Naira pun tersenyum lebar. "Aku tahu mana keputusan untuk diri aku sendiri, Pak. Dan kalau memang Mas Farid benar jodohku, semua pasti akan meridhoi hubungan kami."

"Kalau kamu, apa yang kamu suka dari anak saya?" Tanya Hasan mengalihkan tatapannya pada Farid.

"Naira orang yang baik, Pak. Mau memahami dan mengerti saya. Dan juga.. Naira bersedia nerima kondisi saya." Farid mengucapkan kalimat terakhirnya dengan pelan. Ia pun menunduk saat melihat tatapan heran dari kedua orang tua di depannya.

"Maksudnya apa, Nak? Memang kondisi Nak Farid kenapa?" Tanya Rida.

"Saya punya anak. Namanya Nadi, tahun ini umurnya tiga belas tahun."

"Kamu duda?" Ujar Rida kaget.

"Iya, Bu, istri saya meninggal waktu lahirin Nadi."

"Tiga belas tahun?" Hasan mengernyit. "Bukannya usia kamu baru tiga puluh dua?"

"Iya, Pak. Saya menikah muda."

"Kenapa?"

Farid pun menahan napasnya sejenak. Pertanyaan itu pasti keluar dan ia sudah memprediksinya.

"Saya melakukan kesalahan waktu saya baru lulus sekolah." Jujur Farid. Dan ia yakin, Rida dan Hasan mengerti kesalahan yang ia maksud adalah apa.

"Kalian nikah karena kecelakaan?"

Dengan berat hati, Farid mengangguk.

Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Hasan tiba-tiba bangkit dari duduknya. "Kamu boleh pulang."

"Pak." Tahan Naira langsung. "Kita kan belum selesai, Pak."

"Bapak udah selesai ngobrolnya. Kalau kamu masih mau ngobrol, silahkan aja." Hasan melepaskan tangan Naira di lengannya.

"Tapi kamu tahu kan, Nai? Kamu hanya bisa menikah dengan restu Bapak."




Nadi | Seri Family Ship✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang