Siaga Satu!

12 0 0
                                    

"Jadi bagaimana kencanmu semalam?" Hitoka menghela nafas mendengar pertanyaan Hayato, pasalnya ia baru saja menghempaskan bokongnya di bangku kelas dan pemuda itu sudah menghujaninya banyak pertanyaan.

"Dari raut wajahnya yang tenang itu, aku bisa melihat kalau semuanya berjalan lancar. Benar kan Hitoka-chan?" Airi yang menambah rasa penasaran Hayato seolah terlihat tidak membantu samasekali.

"Tidak terjadi apa-apa kok. Kami hanya makan udon dan es krim karena warung kare itu antri panjang sekali" sahutnya sembari tersenyum sipu.

"Kedengarannya menyenangkan sekali ya? Pergi berdua meski hanya makan udon, romantis sekali" Airi menopang dagunya dengan siku sembari membayangkan kencan Hitoka seperti yang ada di drama-drama.

"Jangan sesumbar dulu. Kencan bukanlah kencan kalau kau tidak diberi ciuman di penghujung hari." Orang yang sedari tadi menatap keluar jendela tanpa menghiraukan mereka, akhirnya bersuara.

"Tsu-chan bicara apa sih. Berciuman ketika belum memiliki hubungan apapun itu kan tidak baik" komentar gadis itu

"Kau terlalu polos untuk mengerti itu, Airi. Hal seperti itu biasa terjadi di kota-kota besar. Bahkan kau tidak harus saling mengenal untuk mendapatkan ciuman dari seseorang. Di Tokyo ada aplikasi untuk sewa pacar bohongan. Jangankan berciuman, kau bahkan bisa–"

"Aku tidak bertanya pendapatmu, Furukawa Tsuyoshi" Hitoka mendelik tajam ke arah pemuda itu

"Aku sudah bilang kan itu bukan kencan. Lalu, Yoshida-kun bukanlah tipe orang sepertimu yang suka seenaknya memanfaatkan keadaan. Dia sangat berbeda darimu. Jadi jangan asal bicara buruk tentangnya disaat kau bahkan tidak mengenal baik dirinya" sambungnya membuat suasana di meja itu seketika terasa sangat dingin.

"SENSEI DATANG" keheningan empat remaja itu dibuyarkan dengan kedatangan pak guru.

Setelah berdiri dan memberi salam, Tsuyoshi yang hendak duduk di kursinya mendadak dipanggil oleh pak guru. "Furukawa-kun,bapak sudah diberitahu oleh pihak tata usaha kalau meja baru untukmu sudah datang. Tapi dia tidak bisa membawakannya karena sedang menemani bu Ohiro untuk pekerjaan lain. Apa kau tidak keberatan untuk membawanya kemari sendiri?"

Hitoka memekik senang dalam hati ketika mendengarnya. Akhirnya Tsuyoshi akan enyah dari bangkunya dan ia tak harus berbagi meja dengan si menyebalkan itu!

"Baik sensei"

Tsuyoshi melirik raut wajah Hitoka yang jelas sekali dihiasi kemenangan, yang lagi lagi membuat pemuda itu berambisi untuk menjahilinya.

"Sensei, maaf tapi saya belum tau dimana harus mengambil meja barunya"

"Benar juga.. Hitoka-san, petugas tata usaha meletakkan meja itu di ruangan sarana dan prasarana. Kuncinya ada ruang guru, katakan pada guru yang berjaga kalau bapak yang memintanya"

Senyum Hitoka memudar, "Sensei.. kenapa harus saya?"

"Karena ketua kelas kalian sedang sakit dan tidak masuk sekolah. Apa ada masalah?"

Hitoka menggeleng pasrah, ekspresinya tergantikan dengan wajah setengah jengkel ditambah melihat pemuda di sampingnya yang tersenyum seolah tak merasa berdosa.

.

Sepanjang jalan menuju ruang sarana dan prasarana, tak satupun dari kedua remaja itu yang bersuara. Tsuyoshi kelihatan sudah cukup puas mengganggu kesenangan Hitoka, pun Hitoka tidak mau menambah beban pikiran dan hati dengan membuat Tsuyoshi menjahilinya lagi.

Gadis itu memutar kunci yang ia ambil di ruang guru pada pintu berdaun dua yang bertuliskan "Sarana & Prasarana".

Setelah membukanya, hanya terlihat beberapa barang-barang perlengkapan sekolah dan proyektor usang yang mungkin lupa untuk dibawa ke tempat reparasi.

"Tempat ini berdebu sekali"

Tak menghiraukan keluhan Tsuyoshi, Hitoka bersandar di samping pintu sembari melipat kedua tangannya di dada. "Cepat ambil mejamu, aku ingin segera kembali ke kelas"

Namun alih-alih mendengarkan ucapan gadis itu, Tsuyoshi malah duduk santai di atas meja barunya. "Kau payah sekali. Ini kan kesempatan untuk kita mengulur waktu pelajaran, nikmati saja dulu"

Gadis itu memutar bola matanya bosan, kalau mau bolos kenapa harus repot-repot mengajaknya dasar tidak tahu malu!

Tidak mendapat respon apapun dari Hitoka, Tsuyoshi melirik gadis itu yang masih tak bergeming dari posisinya. "Kau mendengarkanku tidak?"

Masih tak menjawab, Hitoka hanya mendengus kesal melihat tingkah menjengkelkan pemuda di depannya ini. 'Biarkan saja ia berbicara sesuka hati, nanti kalau lelah pasti ia akan berhenti sendiri' pikir Hitoka

Tsuyoshi mengerutkan keningnya. Ia melompat turun dari meja tempatnya duduk tadi dan mendekati Hitoka yang masih memandanginya tajam. "Kau kesurupan ya? Setiap kali kau menatapku sambil diam begitu membuatku merinding"

Hitoka tetap teguh dengan pendiriannya dengan tidak merespon apapun ucapan yang keluar dari mulut Tsuyoshi. Meskipun pemuda itu kini berdiri di hadapannya, tidak membuat Hitoka gentar. Ia telah belajar cara untuk menghadapi orang setengil Tsuyoshi adalah dengan membuat dirinya tidak terlihat lemah didepan pemuda itu.

.

Diamnya itu. Aku tak suka.

Aku suka melihat gadis ini berceloteh sepanjang hari tentang sikap burukku dibanding mendiamiku seperti ini. Aku lebih suka ia marah dan memukuliku dengan tangan kurusnya dibanding membuatku bertanya tanya tentang apa yang kini sedang ia pikirkan.

"Kau benar-benar kerasukan ya?"

Tidak. Masih tak juga ada jawaban.

Dia melakukan ini untuk membuatku frustasi? Egoku terlalu tinggi untuk mengatakan iya.

Lagipula kini atensiku meneliti setiap lekuk wajahnya. Mata besarnya yang berbinar ketika membicarakan Yoshida-Yoshida itu, hidungnya yang kecil, pipinya yang tak ia sukai karena bulat, rahangnya yang menegas karena.. terlampau kesal padaku mungkin?

Lalu.. berhenti disana. Bibir ranumnya yang ia poles tipis dengan perona. Bibir itu terkatup rapat, menahan setiap cacian yang entah kenapa memberiku rasa puas tiap kali mendengarnya. Bibir yang sejak awal mengunci pandanganku.

Gawat.. aku ingin melumatnya.

"Kau.."

Tubuhku? Bergerak sendiri?
Mengapa aku meletakkan telapak tanganku pada dinding dibelakangnya?

Kenapa ia masih tak bergeming? Apa ia tak merasakan bahaya dariku? Jika ia tak berkata apapun, aku mungkin tak akan bisa lagi menahan diri..

Tanpa sadar tubuhku bergerak merapat hingga aku bisa merasakan deru nafasnya yang terasa melucuti akal sehatku. Tsuyoshi! Kendalikan dirimu!

Satu

Dua

Tiga

Perlahan aku menutup jarak dan gadis ini bahkan belum berkata apapun. Yang bisa kurasakan hanya nafasku yang memburu kencang, menghirup parfum khas yang selalu ia gunakan selama ini.

Apa yang akan terjadi jika kudekap gadis ini sekarang?

"Jika kau sudah selesai, kembalikan kunci ini ke ruangan guru. Kau hanya membuang-buang waktuku disini"

Sial, aku tersentak dibuatnya. Ia membuatku hampir kehilangan kesadaran dan pergi berlalu begitu saja?

Aku menatap punggungnya yang perlahan menjauh dan menghilang dibalik lorong ruang kelas. Ku genggam erat kunci di tanganku seolah benda itu akan lari jika aku lepaskan, merasa kesal entah karena alasan apa.

Jika seharusnya aku merasa lega, tentu saja. Jika aku sampai bertindak lebih jauh, tentu akan menjadi masalah besar. Namun hal yang tak ku mengerti mengapa untuk pertama kalinya aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri?

Seolah hal yang kuanggap hanya akan menggertaknya, malah membuat diriku sendiri terhanyut. Ini konyol, sejak kapan aku kalah pada permainanku sendiri?

Terlalu banyak pertanyaan, kepalaku terasa pusing.

Kurasa aku perlu pergi ke UKS..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

You've Fallen For Me; ebidan x stardust planetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang