39. piano : apologize

7.1K 524 122
                                    

"Bosan terus di kamar, dan aku lelah tiap kau tinggalkan. Dylan, biar aku ikut. Aku tidak akan mengganggu," pinta Delmora merayu.

Mungkin intonasinya tergolong memelas, dahi sudah berkerut-kerut sejak tadi hingga meninggalkan garis samar, memohon pada Dylan untuk dibawa ke mana pun pergi.

Ke mana saja.

"Di mana pun yang selalu mengikuti itu kerap mengganggu." Dylan menjawab begitu.

Sejenak harapan Delmora pupus lagi, ditolak lagi. Kepalanya menunduk dengan sorot mata suram, sedikit merengut, tangan tetap meremas-remas pakaian Dylan. Setelah malam panjang itu, ia sudah meminta berturut-turut, namun selalu ditolak dengan alasan nanti bosan di sana.

Muak sungguh selalu dirantai, menyedihkan seperti hewan, rantai dibuka hanya ketika dibuka Dylan. Bisa makan dan mandi hanya saat disuapi atau dimandikan. Tubuh sudah seperti boneka mainan, tapi tidak masalah, apa pun mereka menyebutnya, dia ingin terus bersama Dylan.

Uluran tangan yang terkepal memegang kunci menuju pergelangan kaki kiri, mengundang mata chrysolite melirik mengikuti, samar membelalak dan berbinar kala terdengarnya bunyi klik terbuka.

"Ayo," ajak Dylan menghulur tangan, benar-benar membuat bibir Delmora berkedut dan berkerut senang. Kedua ketiak ditarik sedikit menggusur hingga menimbulkan kisut di tempat tidur.

Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, dibawa keluar menjauh dari kamar yang satu bulan ini mengurungnya seperti burung dalam sangkar. Berkepak-kepak sayap patahnya ingin keluar, tetapi baru kali ini dapat keluar dari pintu sangkar dalam posisi kedua kaki mengunci tubuh Dylan dan pantat ditompang telapak tangan besar.

Selepas perjalanan sekian menit, Dylan duduk di kursi empuk menghadap meja. Kepala Delmora menoleh ke belakang, melihat kertas-kertas menampilkan tulisan, sementara tangan tetap melingkari tengkuk pria yang memangkunya.

Urung membuka mulut hendak bertanya, ia telah berjanji takkan mengganggu. Delmora bersandar pipi kanan pada bahu kanan yang kokoh itu, menatap luar jendela yang membingkai pegunungan. Tangan kanan menjulur jauh sampai ujung jari menyentuh belikat kiri Dylan, sedangkan tangan kiri menyusup dari balik ketiak, memeluk erat tak ingin dilepaskan.

Bergumam tanpa sengaja, tatkala bokong ditekan telapak tangan lebih kuat.

"Tetap diam jangan bergerak," bisik Dylan di daun telinga, napas panasnya kerasa di kulit leher.

Delmora mendengar patuh, tidak bergeser maupun menggerakkan anggota tubuh, kecuali kelopak mata yang tergerak turun. Perlahan, seluruh bola matanya tertutup, hingga dengkuran kecil bukti letih menyusul.

****

"Mm."

Bergumam kala merasa sentuhan di rambut. Delmora sadar sudah tidak duduk di pangkuan lagi, kini nyaman berbaring di alas empuk. Tempat tidur, pikirnya. Aroma maskulin inti kayu-kayuan, menyerbu banyak ke rongga pernapasan, ia heran. Ini terlalu banyak, sampai rasanya ingin terus terlelap. Berasa di hutan dengan pepohonan tumbang, lalu kayu yang terkelupas menghampar.

"Delmora."

Berat terdengar, juga serak. Delmora tahu, itu Dylan. Tidak ada Dylan, tidak mungkin dia bisa senyaman ini.

Kain merah beludru menyapa begitu kelopak mata terbuka. Tirai tempat tidur terikat di tiang ranjang, pun seprei, selimut, bantal, bewarna merah beludru. Tak lama, mata itu mengobservasi sekitar begitu sadar berada di kamar lain. Aroma seorang pria tercium kuat di sini.

Ludah tertelan, kali pertama melihat kamar Dylan. Tunggu, benar, bukan, ini kamar Dylan? Masih berinterior high baroque, luas dan lebih menakjubkan dari kamarnya. Didominasi merah, dari warna sofa ataupun gorden kaca yang memberi kesan lebih mahal. Menghadap langsung ke kebun anggur yang terlihat pucuknya saja di sana. Di luar sudah malam, tetapi tirai kamar belum ditutup.

Your Grace, Kill Me NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang