Sada
"Dia bersih."
Ia menatap kakaknya tak mengerti. Semalam begitu sampai di rumah sakit, Mas Tama langsung menemui Mama dan tertidur di samping Mama mungkin karena saking lelahnya. Membuat mereka baru bisa bercakap-cakap pagi ini di Cafetaria sembari menikmati secangkir espresso dan sepiring roti bakar hangat.
"Benar-benar sudah putus hubungan dengan masa lalu ayahnya."
Ia mulai mengerti. Data diri yang dikirim Mas Tama melalui email sudah tertulis dengan jelas, jika Cut Rosyida, satu-satunya istri dari Hamzah Ishak lebih memilih untuk mengungsi ke rumah saudaranya di Muara Bungo daripada mengikuti eksodus para tokoh GNM dan keluarganya mencari suaka ke luar negeri.
Namun hanya bertahan sekitar dua tahun menumpang di tempat saudaranya, Cut Rosyida kemudian memutuskan untuk merantau ke Jakarta dengan membawa serta dua anak lelakinya, Iskandar dan Najefan. Yang tak pernah diduga berhasil memasuki kehidupan aman tentram keluarga mereka melalui sang adik, Karina. Unpredictable.
"Jadi nggak masalah?" ingatannya kembali melayang pada kejadian semalam dimana Jefan tengah membacakan cerita untuk Karina.
"Beberapa mantan tokoh GNM bahkan ada yang jadi pejabat publik," tambahnya sembari menyesap espresso yang masih mengepulkan uap panas. "Case closed with happy ending."
Tapi Mas Tama menggeleng, "Tapi yang satu ini beda."
"Karena Hamzah Ishak yang nembak Papa waktu pengepungan pasukan gabungan?" tebaknya dengan mata penat. Permasalahan ini bukan hanya tentang adik kecilnya yang hamil di usia muda, tapi tentang perseteruan dua pria dengan latar belakang berlawanan. Papa mereka dan ayah Jefan.
Mas Tama menghembuskan napas panjang, "Aku nggak bisa bayangin reaksi Papa kalau sembuh nanti begitu tahu Karina..."
"Apa Papa masih bisa mengingat semua?" kejadian tersebut sudah berlalu puluhan tahun silam. Bahkan jauh sebelum Karina dan Jefan dilahirkan. Ketika Papa baru merintis karir di korps-nya dengan ditempatkan di daerah yang sedang menerapkan operasi militer. Sementara ayah Jefan pastinya menjadi panglima muda GNM paling pemberani dan sulit diringkus yang pernah ada.
"Kejadian itu jelas menjadi titik nadir awal karier Papa. Operasi gabungan yang disusun hampir sempurna gagal total ditambah Papa hampir terbunuh."
Mereka kemudian sama-sama terdiam, mencoba memikirkan jalan keluar terbaik. Ia memilih menyantap roti bakar untuk membuka cakrawala, sementara Mas Tama menyesap rokok dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Hingga asap putih mengelilingi udara sekitar tempat mereka duduk.
"Tapi dia bisa lolos waktu senggolan sama Gabriel," gumamannya mengingat satu catatan penting tentang Jefan.
"Faktor luck," jawab Mas Tama yakin. "Kalau dia berani lawan palingan udah habis sama kayak kasus di tempat lain."
Dalam rekam jejak disebutkan, Jefan yang cerdas dan tak memiliki banyak teman sempat berurusan dengan beberapa anak orang berpengaruh. Karena kehadirannya di Pusaka Bangsa langsung merubah standar tingkat kecerdasan yang biasanya diduduki oleh anak-anak tersebut.
Jefan sebagai anak baru diluar perkiraan siapapun justru berhasil meraih banyak kejuaraan bergengsi, puncaknya gold medal OSN tingkat nasional. Jauh mengungguli anak-anak tersebut. Menimbulkan rasa marah dan ketersinggungan.
Ia tahu pasti Jefan hampir saja dihabisi oleh anak-anak tersebut. Tapi rupanya faktor luck masih menaungi, karena Jefan justru memilih untuk menghancurkan diri sendiri dengan—berlagak—menjadi siswa bodoh dan bermasalah di sekolah daripada harus melawan dengan menunjukkan kemampuan yang dimiliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Pagi | Na Jaemin
RomanceSometimes someone comes into your life so unexpectedly, takes your heart by surprise.