48. Mitsaqan Ghalidza

240 48 11
                                    

Najefan

Ia sempat melirik jam tangan yang dipakai, tepat pukul 12.42 WIB, ketika mobil warna silver yang dikemudikan Bang Fahri mulai memasuki halaman Rumah Sakit tempat Karina dirawat.

Mobil berkapasitas 8 orang ini sarat akan penumpang. Di sebelah kiri Bang Fahri duduk Yahbit Hamdan yang tampak gagah dengan jas hitam dan peci beludru hitam.

Awalnya Yahbit Hamdan bersikeras ingin memakai baju Teluk Belanga miliknya. Pakaian kebesaran saat acara keagamaan atau perayaan event spesial tertentu di keluarga besar mereka yang masih memiliki darah Melayu. Pakaian yang terdiri dari celana panjang, baju koko, dan kain sarung.

Tapi Bang Fahri keburu mengingatkan, "Kita mau pergi ke rumah sakit, Yah. Bukan resepsi."

"Janganlah terlalu menarik perhatian orang," lanjut Bang Fahri. "Tak enak kita seperti hendak pergi berpesta tapi di tempat orang yang sedang sakit."

Membuat Yahbit Hamdan akhirnya mengalah hanya mengenakan setelah pakaian biasa. Cukup ditambah dengan jas hitam sebagai bentuk penghargaan terhadap acara yang diselenggarakan.

Di baris kedua duduk dirinya, diapit oleh Mamak dan Kak Aisyah, istri Bang Fahri. Sebagai pengganti Kak Fatma yang tak bisa ikut hadir karena harus menjaga anak-anak di rumah.

Lalu di baris paling belakang ada Cang Romli yang tak pernah berhenti tersenyum lebar sejak awal keberangkatan. Juga Babe Syafi'i, pemilik madrasah yang ada di dekat rumah sekaligus guru mengajinya sewaktu masih kecil. Dan putra sulungnya Ustadz Arif Rahman, yang nantinya akan bertindak sebagai pemberi khutbah nikah, qori, sekaligus pembaca doa. Terakhir Cing Anwar suami Cing Ella—yang ikut berjualan di kedai milik Mamak.

Dengan hati berdebar ia pun turun dari mobil sembari tangannya tak pernah lepas menggenggam erat kotak berbahan beludru merah yang tersimpan di dalam saku celana. Kotak berisi cincin, maharnya untuk Karina.

Sementara Mamak membawa kotak transparan berhias pita pink yang berisi seperangkat alat sholat sebagai hantaran pernikahan. Berupa mukena dan sajadah yang dibelinya di pasar kemarin sore. Yang telah dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai kelopak bunga yang sedang bermekaran.

Sedangkan Kak Aisyah dibantu Cing Anwar dan Bang Fahri, membawa kotak lain yang berisi Meusekat (jenang khas Aceh), Bhoi (bolu Aceh), dan Keukarah (makanan ringan khas Aceh).

Sederhana sekali?

Memang!

Sejujurnya ia ingin seperti kebanyakan orang yang hendak menikah. Mempersembahkan yang terbaik untuk mempelai wanita. Memberikan semua barang kebutuhan Karina mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tapi, uang yang dimilikinya saat ini tak cukup untuk membeli semua barang tersebut.

Meski Mamak dan Kak Fatma memberinya sejumlah uang untuk biaya menikah dan kebutuhan lainnya, tapi dengan berat hati harus ditolak.

"Simpan dulu Mak, Kak. Untuk biaya melahirkan anakku nanti. Kalau sekarang, alhamdulillah aku masih ada uang."

Meski ia sendiri tak tahu, berapa jumlah biaya yang harus dipersiapkan untuk menyambut kelahiran buah hatinya kelak. Yang pasti tidak sedikit.

"Lantai berapa?" suara Bang Fahri membuyarkan lamunannya.

"Lima," jawabnya sambil memencet angka 5.

TING!

Begitu pintu lift terbuka, mereka langsung disambut oleh pemandangan ruang terbuka cukup luas yang sama sekali tak terlihat seperti rumah sakit. Lebih mirip sebuah hotel berbintang lima malah. Lengkap dengan desain interior yang mewah dan elegan.

Mereka pun tak harus kesulitan untuk menemukan tulisan conference room 1, karena beberapa petugas rumah sakit ikut membantu memberi petunjuk sekaligus mengarahkan mereka.

Senja dan Pagi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang