"Yah, gimana pun juga, ini kan jalan yang lo pilih."
Ujaran Dio menggantung di udara beberapa saat dengan Esa di depannya yang sedang cemberut—yang menurut Dio, lebih pantas disebut dengan mochi ice cream yang sudah lumer—kedua telapak tangannya menempel di atas meja untuk menopang wajahnya, tak kunjung menjawab apapun, Esa malah memiringkan kepalanya untuk mengalihkan pandangannya dari Dio. Oh! Kini dia terlihat seperti bayam rebus yang tak bisa bersosialisasi, lemas dan tak bergairah.
Sepinya pembeli di toko hari ini membuat Esa tak berdaya, dan untuk itu, Esa tidak bisa menyalahkan tempat-tempat bagus dengan kopi yang mahal padahal rasanya seperti air comberan sebab semua orang lebih memilih opsi pertama daripada toko kopi tua yang pelayannya merupakan bocah laki-laki berumur 19 yang terlihat tak mengetahui apa-apa mengenai dunia.
"Padahal gue bisa belajar dan kuliah tapi kenapa Eyang mengiyakan gue, ya, pas gue bilang pengen jaga di sini aja?"
"Itu artinya dia manut aja sama apa pilihan lo, bocah! Masih ada waktu kalau lo mau daftar kuliah sekarang. Hmm, Ilmu Politik sounds good, atau mau masuk FIB aja?"
"Oh, tetap nggak mau sih kalau ditawarin kuliah."
"What? Kenapa?"
"I mean... look at you?"
Ternganga Dio tak percaya, lantas ia memukul kepala Esa dengan buku catatan kecil yang ada di hadapannya. Bocah itu hanya menahan tawanya. Di matanya Dio adalah mahasiswa memprihatinkan yang kerjaannya hanya luntang lantung tak jelas. "Bukan gue menganggap kuliah itu nggak penting sih, cuma, gue belum siap lihat diri gue jadi kayak lo beberapa tahun kedepan."
"Oh, come on. You could do better than me. Gue percaya, dua ratus persen!" Jawab Dio.
Esa sejenak terlihat berpikir sebelum Dio berdiri dari kursinya dan membuat bocah itu terperangah. "Kalau mau tetep pakai plan pertama alias lo mau stay di sini, nggak apa-apa sih. Tapi nggak ada salahnya juga kalau mau coba jalan yang lain."
"Dipikirin lagi aja, lo masih muda, masih kecil! Jangan kelamaan lemesnya, tumis kangkung kalah loyo tuh sama lo." Lanjut Dio, lantas ia mengais tasnya yang tergeletak di atas etalase kaca.
"Iya deh, thanks ya. Abang mau cabut sekarang?"
"Yoi."
"Salam buat Nio."
"Siap! Serehnya sekalian nggak?"
Esa menatap Dio tak percaya sembari mendorong paksa laki-laki itu keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Matahari pun bertengger teduh sore itu bersamaan dengan pulangnya Dio ke rumah.
***
Jalanan terlihat ramai dan macet, Dio menekan pedal gas sedetik setelah palang lintasan kereta api sudah terangkat. Klakson saling bersahutan. Pelik. Masuk akal apabila di hari pertama di bulan April semua orang berbondong-bondong membuat pernyataan bahwa pengadaan transportasi umum di kota Bandung sudah begitu tertata dan merata, alias hanya April Fools, alias, hanya angan belaka. Transportansi umum antar daerah yang layak? You wish!
"Sumpah, gue adalah orang pertama yang bakal jadi pelaku kriminal dengan kasus membungkam orang yang bilang kota ini diciptakan pas Tuhan lagi tersenyum. Paris Van Java apanya! Emangnya di Paris ada orang pake motor Supra yang nggak taat peraturan lalu lintas?!"
"Well, seenggaknya di sini kita punya es pisang ijo. Di sana ada nggak?"
"Oke, itu bisa jadi pertimbangan, dan mungkin bangsa ini bakal maju kalau gue udah jadi presidennya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sticky Notes: Past Midnight Cupcakes
FanficBegitulah kami datang dari pendekatan paling tidak masuk akal satu dunia, kardus-kardus dekorasi yang membisu di sudut ruangan (jangan pernah beri tahu semua orang bahwa ruangan itu adalah sekretariat organisasi karena Dio malu untuk mengakui bahwa...