52. Terima Kasih : Satu Tanda Syukur (2)

235 51 6
                                    

Najefan

"Maaf, Pak, saya nggak bisa berlama-lama di sini. Besok harus sekolah," ujarnya sembari melihat jam di pergelangan tangan kanan, pukul 20.30 WIB. Masih cukup waktu untuk pulang mengambil motor, dan kembali lagi ke rumah Karina sebelum jam 10 malam.

"Ya, tentu," jawab Pak Imam dengan penuh semangat. "Kapan mulai ujian?"

"Hari Senin minggu depan sudah simulasi. Setelah itu mulai rangkaian ujian sampai bulan April."

"Semangat ya. Saya yakin kamu bisa!"

"Terima kasih, Pak," ia tersenyum mengangguk. "Sama ini...," ia menghentikan kalimatnya sejenak.

"Kenapa?"

"Saya boleh titip untuk teman-teman satu sel saya dulu?" tanyanya sedikit ragu sambil mengangkat tote bag yang satu lagi.

"Isinya apa?"

Ia pun membuka tote bag untuk memperlihatkan isinya, "Bingkisan, kue, sama makanan, Pak."

Tapi Pak Imam justru tertawa, "Ngapain titip. Kamu kasih saja langsung sekarang."

Kini ia telah berjalan beriringan dengan Pak Imam menuju tempat yang cukup familiar. Melewati lorong yang sepi. Lalu berbelok ke arah kanan. Kembali melintasi lorong panjang dimana sebelah kanan kirinya terdapat ruang-ruang mirip kantor yang juga tak kalah sunyi. Kemudian berjalan menyebrangi sebuah ruang terbuka yang luas. Sambil sesekali Pak Imam saling menyapa dengan rekannya yang kebetulan berpapasan dengan mereka.

Kini sampailah ia di depan sepasang pintu teralis besi berwarna cokelat yang penuh intimidasi. Gerbang utama ruang tahanan dengan tulisan mencolok berukuran besar yang berbunyi.

RUANG TAHANAN

Yang Tidak Berkepentingan

DILARANG MASUK!

Kecuali Petugas Jaga Tahanan

Bunyi derit pintu yang terbuka dengan cepat berhasil mengingatkannya kembali pada malam dingin dan penuh kecemasan tempo hari. Namun ia tak ada waktu untuk bernostalgia. Karena harus segera mengikuti langkah Pak Imam yang berjalan cepat memasuki pintu teralis besi.

Pak Imam berhenti sejenak untuk bercakap-cakap dengan dua orang petugas jaga yang tengah duduk di balik meja cokelat panjang yang berada di sebelah kanan pintu teralis besi.

Dan tanpa harus menunggu lama, Pak Imam kembali melanjutkan langkah melewati ruang besuk tahanan di sebelah kiri. Barulah mereka menyusuri lorong menuju sel nya tempo hari.

"Lima belas menit cukup?" tanya Pak Imam sembari membuka kunci.

"Cukup, Pak," ia mengangguk.

Suara keras akibat dari terbukanya gerendel kunci langsung menarik perhatian semua orang di dalam sel. Sebagian yang tengah duduk-duduk langsung melihat kearahnya dengan tatapan aneh. Sebagian lain sudah mulai menempati lahan masing-masing, bersiap untuk tidur, namun langsung bangkit begitu mendengar suara pintu besi terbuka.

"Kalian ada tamu nih!" begitu kata Pak Imam yang kembali mengunci pintu besi dari luar.

"Sama tamu yang sopan!" lanjut Pak Imam sambil beranjak pergi.

Ia pun mulai meneliti satu per satu wajah orang-orang yang berada dalam sel. Mencoba mengenali sesuai dengan kilasan ingatannya. Karena beberapa wajah sangat asing bahkan belum pernah dilihatnya sama sekali.

"Anak baru lo?" sapa salah seorang berwajah asing.

"Bang Naim ada?" tanyanya ragu. Perasaan cemas mulai menyelimuti. Khawatir telah membuat keputusan yang salah dengan berkunjung ke sini.

Senja dan Pagi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang