Katherina
Pagi ini ia terbangun dalam keadaan segar dan bersemangat. Setelah selama dua pekan terakhir selalu bangun tidur dengan kepala pening, karena dirinya terlalu dipenuhi oleh perasaan takut dan khawatir. Kemudian melalui hari-hari penuh ketidakpastian yang membingungkan. Begitu menguras energi. Namun kini, semua telah berlalu. Ia siap kembali beraktivitas normal sebagaimana biasa, sama seperti sebelum semuanya terjadi.
Seraya menyunggingkan senyum ia melangkah keluar kamar. Dan penglihatannya langsung tertumbuk pada pintu kayu berwarna putih tulang yang hanya berjarak beberapa meter di hadapannya. Iya, pintu kamar tamu. Kamar yang sekarang ditempati oleh Jefan.
Selintas mengingat si empunya nama, membuat hati mendadak bersuka cita. Namun pintu bercat putih tulang itu tertutup rapat. Sunyi dan sepi. Seolah tak ada kehidupan apapun di dalamnya.
"Idih, jam segini belum bangun," cibirnya sembari menatap arloji di pergelangan tangan kiri, pukul 05.30 WIB. Dimana dalam waktu satu jam ke depan, bel masuk sekolah akan berbunyi. Tapi hingga detik ini, Jefan bahkan belum bangun tidur. Dasar!
Eh, tapi sebentar. Apa mungkin Jefan terlalu kecapaian setelah semalam pulang larut?
Apa ia harus membangunkannya?
Kira-kira hal paling masuk akal apa yang bisa dijadikan alasan untuk membangunkan Jefan?
Otaknya masih dipenuhi oleh peperangan sengit antara opsi membangunkan Jefan atau tidak ketika sebuah suara mengejutkan mendadak mampir di telinganya.
"Lagi ngapain, Rin? Pagi-pagi udah ngelamun?"
Tubuhnya refleks berputar 90 derajat agar bisa menghadap ke arah suara. Pandangan matanya langsung menjumpai sosok Jefan yang sedang berdiri tak jauh darinya sembari tersenyum.
Hanya mengenakan kaos oblong celana pendek. Dengan rambut dan wajah yang basah oleh keringat. Setitik air bahkan jatuh menghiasi kening Jefan yang kini sedang sibuk melipat selembar kanebo berwarna kuning.
Untuk menutupi rasa terkejut dan juga gugup, dengan cepat diangkatnya ujung bibir ke atas. Kemudian buru-buru berlalu ke ruang makan. Melewati Jefan yang memperhatikan setiap langkahnya.
Ia memilih untuk bersikap pura-pura tak peduli, agar pemikirannya tak terdistrak terlalu lama demi menyaksikan penampilan rumahan Jefan yang entah mengapa membuat hati kembali berdesir.
"Wilujeng enjing, Neng (selamat pagi)," sapa Bi Enok dengan sumringah di meja makan.
"Sarapan dulu?" tawar Bi Enok sembari menata nasi goreng kampung di atas meja. Fresh from the oven, baru matang dan masih mengepulkan uap panas. Lengkap dengan telor mata sapi sebagai topping. Hmmm, sepertinya lezat.
Ia tersenyum mengangguk sembari mendudukkan diri di kursi. Sementara sudut matanya dengan gesit sempat menangkap bayangan Jefan yang masuk ke kamar tamu kemudian menutup pintunya.
"Dia udah bangun dari tadi?" tanyanya dengan volume suara yang sengaja dikecilkan karena khawatir Jefan bisa mendengar pertanyaannya. Malu dong kalau ketahuan nanyain.
"Siapa, Neng? Den Jefan?"
Ia mengangguk.
"Tos ti Subuh, Neng (sudah dari subuh)," jawab Bi Enok dengan mata berbinar. "Habis pulang dari Masjid langsung ikut bantuin Pak Cipto bersihin sama nyuci mobil."
Membuat keningnya mengernyit.
"Udah dilarang-larang sama Pak Cipto. Tapi Den Jefan-nya tetep mau bantuin."
"Selesai nyuci mobil langsung nyuci motor. Itu barusan selesai."
"Oh," ia mencibir sembari memandangi pintu berwarna putih tulang yang masih tertutup rapat. Mulai menyantap nasi goreng buatan Bi Enok yang aroma kelezatannya begitu harum menggoda.

KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Pagi | Na Jaemin
RomanceSometimes someone comes into your life so unexpectedly, takes your heart by surprise.