Katherina
Bulan Maret terkadang menjadi periode penghujung musim penghujan yang rutin terjadi di negara beriklim tropis seperti Indonesia. Siklus tahunan yang diawali sejak Oktober tahun lalu itu, menurut prakiraan BMKG (badan meteorlogi, klimatoligi, dan geofisika) akan segera berakhir dan berganti menjadi musim kemarau.
Namun hingga pertengahan bulan, curah hujan masih cukup tinggi. Hampir setiap hari ribuan titik air mengguyur dari langit turun membasahi bumi. Meski memang tak sederas volume puncak musim hujan di bulan Januari dan Februari lalu.
Seperti saat ini, gerimis kecil-kecil yang turun sejak sore tak juga kunjung reda. Sedikit banyak menarik perhatian mata untuk memandangi titik-titik air yang membasahi kaca jendela di hadapannya.
Bahkan sejak rintik pertama turun, ia dengan sengaja membuka satu dari empat jendela kaca besar yang ada di dalam kamar tidurnya. Membiarkan angin dengan bebas meniup-niup korden hingga menimbulkan hawa yang cukup dingin menerobos masuk ke seantero ruangan.
Membuatnya harus mengeratkan sweater rajut yang sedang dikenakan ke depan dada. Agar semilir angin yang cukup dingin tak terlalu terasa menusuk tulang.
Sementara itu tatapan mata kosongnya mulai beralih melihat pemandangan di luar jendela. Memperhatikan pohon-pohon yang begoyang tertiup angin. Daun-daun yang rontok lalu berterbangan di udara untuk kemudian berjatuhan di atas tanah yang basah. Lengkap dengan petrichor (aroma hujan) yang baunya khas menyegarkan seperti tanah. Menguar tajam menimbulkan sensasi perasaan yang tak terdefinisikan.
Mengundangnya untuk refleks memejamkan mata, lalu menarik napas dalam-dalam. Menahannya untuk beberapa saat hingga udara terasa memenuhi paru-paru, kemudian menghembuskannya dengan perlahan.
Mengabaikan buku latihan soal UN yang lembar jawabannya bahkan masih bersih kosong melompong. Sedari tadi belum mengerjakan satu nomor soal pun. Membuatnya sedikit terheran-heran dengan hasrat belajar yang mendadak menguap entah pergi kemana.
Namun meski begitu, otaknya terus bekerja. Sedari tadi pikirannya bahkan melayang membayangkan seseorang.
"Oh, Jefan? OSN?"
Begitu kalimat yang dilontarkan oleh Faza siang tadi di perpustakaan sekolah kembali terngiang.
"Udah di grand design sih kalau menurut gue."
"Karena nggak ada yang pernah tahu kronologis sebenarnya, tiba-tiba Jefan udah ngamuk di ruang guru. Sampai banyak kaca yang pecah gara-gara dilempar sama kursi."
Mendorongnya untuk kembali memejamkan mata sembari membayangkan kira-kira bagaimana kejadian yang sebenarnya saat itu ketika seseorang melempar kursi ke arah kaca yang mengelilingi ruang guru.
PRANGNGNG!
Mata terpejamnya bahkan bisa melihat dengan jelas kemarahan dan kekecewaan di wajah penuh luka itu. So sad!
"Lo nggak tahu kalau setiap yang masuk lewat jalur prestasi beasiswa penuh wajib sign surat pernyataan?"
Kalimat Faza kembali berputar mengelilingi kepalanya.
"Intinya sih karena kalah backing. Sampai sekarang jadi hancur kayak gitu."
Menuntun ingatannya kembali melayang pada percakapan dengan seseorang di atas tempat tidur kamar nomor 27 seminggu yang lalu. Iya, percakapannya dengan Jefan. Seseorang yang sejak tadi menguasai seluruh pikirannya.
"Orang kecil pinggiran macam aku dan keluargaku, sehebat apapun kemampuan yang kami miliki, akan tetap kalah sama yang punya kekuasaan dan materi berlimpah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Pagi | Na Jaemin
RomanceSometimes someone comes into your life so unexpectedly, takes your heart by surprise.