YANG BACA WAJIB VOTE & COMENT❕️DI FOLLOW JUGA BOLEH BGT❤️
.
.
.
.╔═════ஜ۩۞۩ஜ═════╗
CAREL
╚═════ஜ۩۞۩ஜ═════╝"Kamu! Dasar pembunuh!"
Itu jelas menyakitkan. Auman mengerikan seperti gue bukan pembunuh ya, bajingan! kembali tertelan di tenggorokan karena tonjokan lebih dulu mengenai sebelah pipinya. Beberapa lebam sukses mewarnai pipi tirus Carel.
"Kamu yang sudah menyebabkan istri saya meninggal! Pasti kamu! Saya yakin kamu pelakunya!"
Wajah Ardani sudah seperti orang kesetanan. Mondar-mandir tak jelas, bahkan tidak merasa bersalah setelah membuat wajah putra bungsunya babak belur. Di tempatnya berdiri, Carel tak berniat menghentikan tingkah laku Ardani yang sudah seperti orang gila.
Mata Carel lebih tertarik pada sosok wanita paruh baya yang tengah memeluk putra kembarnya. Wajahnya yang khawatir membuat Carel ingin sekali mengamplasnya dengan kasar. Sorot mata yang nampak sayu lebih mirip seekor kambing jantan yang ingin kawin di mata Carel.
Kaki panjang Carel sudah akan mendekati sosok wanita itu, jika saja Ardani tidak kembali berteriak. Dhava yang diam sampai berdiri dan mendekati Carel, bersiap jika sang Adik akan dipukul lagi.
"Kembalikan istri saya! Kamu harus bertanggung jawab! Kamu penyebab semua ini terjadi, Carel Buana!"
Carel memutar bola mata, benar-benar tidak tahan dengan drama klise seperti ini. Matanya kembali fokus pada Ardani dengan sedikit menyipit, mengamati kebohongan di mata Ardani yang nampak berkaca-kaca. Raja drama.
"Sebenernya, di sini siapa yang harus tanggung jawab?"
Carel melangkah maju dengan senyum miring. Kedua tangannya dengan santai terlipat di depan dada. Mari lihat bagaimana pria tua itu akan menjawab sekarang. Senyum miringnya berganti dengan seringai tipis menyadari wajah Ardani yang mulai tegang. Interesting!
"Apa maksud kamu! Apa kamu mencoba untuk menyalahkan saya? Dasar bajingan tidak tahu diri! Seharusnya kamu bersyukur karena saya belum membuatmu masuk jeruji besi!"
Masih dengan posisi sama, Carel tidak berniat memberikan jawaban. Tetap mengamati keringat di wajah Ardani yang semula tegang dengan mata menyorot penuh ejekan. Memberikan aura manipulatif yang sukses membuat Ardani tak bisa berkutik.
Baru setelah beberapa detik penuh dengan aura sunyi, Carel mengambil langkah mundur. Sadar dengan rahang Ardani yang mengeras, ia dengan santai menarik napas panjang lewat mulut, mengembuskannya kasar sambil menguap lebar.
"Kenapa jadi kayak kuburan gini? Seharusnya kalian tahu, kenapa Mama gue bisa jadi kayak gini, 'kan?"
Mengabaikan debaran jantung yang tak beraturan, si wanita paruh baya yang masih nampak segar mengambil langkah maju. Walau debaran jantung menganggu—bahkan sampai menggema di telinga, ia cukup tegas membuka suara.
"Kenapa kamu masuk ke keluarga Sanjaya setelah lama tidak menunjukkan diri? Apa rencana kamu? Saya memang belum pernah bertemu dengan kamu, tapi saya yakin, kamu punya rencana dibalik semua ini. Kamu bahkan menunjukkan identitas kamu yang sebenarnya, tepat setelah saya dan suami saya pulang."
Mengabaikan pertanyaan panjang dari wanita itu, Carel lebih memilih mendekati Ardani. Tepat saat jarak keduanya hanya tinggal dua langkah, ia berhenti dan menarik napas pelan.
"Setelah datang ke sini beberapa tahun lalu, tiba-tiba saja ada yang menghubungi keluarga Mahendra, jika Mama masuk rumah sakit. Gue saat itu jelas masih kecil, belum ngerti apa-apa. Tapi setelah tahu, gue sadar, ada yang gak beres dengan Mama yang masuk rumah sakit setelah datang ke mansion ini. Jadi, gue pikir, lo atau istri lo itu tahu penyebabnya, 'kan?"
Untuk seumuran Carel, bicara dengan gaya seperti ini jelas sangat tidak sopan. Tapi dia nampak tidak peduli. Malah cukup santai mengambil duduk di sofa tunggal dengan kaki menyilang. Sementara fokus matanya ada pada Ardani yang masih diam sedari beberapa menit lalu.
Mata Carel yang tak juga beralih dari sang suami, membuat Helena tanpa sadar menelan ludah dengan gerakan tangan gelisah. Hal itu tak luput dari ekor mata Dhava yang sedari tadi terus melirik. Mencurigakan.
Carel menarik napas pelan. Ini tidak akan berakhir jika tak ada yang bicara lebih dulu. Lebih baik akhiri semua ini, agar rencana yang sesungguhnya bisa terlaksana dengan cepat. Untuk awal dari rencana—membawa Ardani beserta sang istri ke makam Anggun sudah terlaksana. Kini, rencana selanjutnya akan dimulai dari sekarang.
"Gue gak bisa ambil keputusan dengan gegabah. Jadi, untuk sekarang, gue gak bakal nyinggung hal ini lagi. Dan untuk lo, Tuan Ardani Sanjaya Nugraha."
Lalu, rencana selanjutnya, berbicara dengan jari telunjuk menunjuk wajah sang Papa tidak tahu diri itu. "Jangan buat gue kecewa. Lo udah bikin Mama gue kecewa, dengan apa yang udah lo lakuin di masa lalu. Jadi, gue harap lo gak bikin kesalahan yang sama, bahkan mungkin lebih parah lagi."
Untuk selanjutnya, Carel tak perlu melakukan apa-apa. Respon Ardani cukup bagus untuk sekarang, hanya diam bahkan setelah Carel dengan tidak sopan menunjuknya. Jadi, ini tidak terlalu buruk di awal.
Dhava menyusul adiknya yang sudah berada di tengah anak tangga. Sebenarnya ia ingin bicara, tapi suasana hati sang Adik nampaknya tidak begitu baik. Wajah cowok itu pun suram luar biasa, setelah ucapan terakhir pada Ardani tadi. Jadi, Dhava hanya diam, sampai mereka di depan pintu kamar masing-masing —yang bersebelahan.
"Kamu gak papa?"
Carel menoleh. Menanggapi pertanyaan Dhava dengan senyum tipis. Jujur saja, ia sangat ingin berteriak kencang sekarang, tapi tak bisa. Menurut Carel, ini hanyalah masalah sepele yang tak diharuskan bersikap manja seperti ini.
Carel sudah ada dititik sekarang, itu berkat mamanya. Bibinya yang paling galak pun juga ikut andil. Jika ibunya Hayden tak menceritakan perihal ini pada Carel, mungkin ia tak akan pernah berada di keluarga Sanjaya.
Tentu saja ini menyakitkan sekaligus memuakkan. Hanya saja, tiap kali mengingat cerita sang Bibi, jika setiap hari ibunya akan menangis, Carel menjadi semakin yakin untuk tetap bertahan di sini. Terus bertahan, sampai ia menemukan pelaku yang sudah membuat sang Mama meninggalkan dirinya.
"Aku Abang kamu, Rel. Jadi, kalau emang kamu sedih dan mau nangis, ada Abang di sini. Kamu bisa keluarin semuanya di pelukan Abang."
Carel baru sadar jika Dhava ikut masuk ke kamarnya. Mata cowok itu berkaca-kaca, sementara kedua tangannya terlentang dengan senyum mengembang. Untuk kali ini, Carel tidak bisa menahan diri. Secara cepat, ia langsung menghantam dada bidang Dhava dengan tubuhnya.
"Gue kangen Mama, Bang. Gue sama Mama cuman sebentar doang. Mama bahkan belum sempat nganterin gue sekolah SD, terus nungguin gue pulang sekolah di dekat gerbang. Kenapa Mama sejahat itu sama gue, Bang?"
"Maafin Abang. Di saat kamu sendiri, di saat kamu butuh pelukan kayak gini, Abang gak ada. Maafin Abang, Rel. Tapi, Abang cuman mau lindungin kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
CAREL
Teen FictionCarel Buana, remaja laki-laki yang hidup dalam kesendirian dari sejak kecil. Sang Ibu sudah meninggal, dan dia tak tahu tentang siapa sang Ayah. Kehidupan Carel tidak jauh-jauh dari hal 'toxic'. Tiap kali, dia harus berurusan dengan yang namanya sal...