One Day At a Time

8 0 0
                                    

Manisnya aroma madu dan melati di dapur mengundang San untuk datang menghampiri. Disana ia melihat Seonghwa dengan segala tetek bengeknya, sedang memanaskan teh. Jujur, Seonghwa lelah dan ini sudah lewat tengah malam. Kiranya telah sebanyak tiga kali ia memanaskan teh ini yang akan kembali ia bawa ke ruangan Hongjoong.

"Hyung," ucap San. "Ini buat Hongjoong hyung, ya?"

Seonghwa mengangguk lemas. Ia tahu teman karibnya bisa jadi begitu keras kepala, tapi kali ini dia menyerah.

Seonghwa memijit pelipisnya kemudian meletakkan sendok yang ia gunakan untuk mengaduk teh keatas meja. Ia beranjak dari tempatnya berdiri, dengan secangkir teh yang telah ia susupi "obat tidur", berjalanlah ia menuju ke kamar Hongjoong bersama San yang mengekorinya tak jauh di belakang dengan langkah kecil.

Seonghwa mengetuk pintu kamar sahabatnya dan masuk ke dalam. San memilin untuk berdiri di ambang pintu sementara Seonghwa meletakkan gelas berisi teh yang tadi ia hangatkan. Dapat San lihat bagaimana fokusnya Hongjoong di meja kerjanya.

Hening sejenak.

Lalu terdengar hembusan napas kasar dari mulut Hongjoong. "Hwa, aku tau apa yang kau masukkan ke dalam teh ini dan kau akan terus berusaha membuatku tidur seperti ini?"

Hongjoong menatap pria berambut panjang di sampingnya. Kedua bola matanya memicing kearah Seonghwa yang sudah pasrah untuk membujuk seorang Kim Hongjoong untuk tidur.

San menyaksikan kedua "kakaknya" bertengkar dari balik pintu. Kalau boleh jujur, San juga ikut merasakan kelelahan dari diri Hongjoong karena "hubungan" yang mereka miliki membuat keduanya dapat "merasakan" satu sama lain.

Hongjoong lelah, ia frustrasi, namun tak punya pilihan lain. Ia akan merasa sangat bersalah jika dirinya tidak bisa menuntaskan pekerjaan ini sebaik mungkin.

Seonghwa terdiam, ia tahu menghadapi Hongjoong wajib menggunakan kelembutan agar laki laki itu tidak semakin kesal. Pun Seonghwa adalah tipe orang yang sabar dan lembut, kemarahan tidak ada di dalam kamus kehidupannya. Mungkin.

Hongjoong masih menatap Seonghwa nyalang sementara laki-laki gang lebih tinggi hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Kau memang tidak bisa mengurus dirimu sendiri, Joong." Lalu kakinya melangkah keluar dari kamar Hongjoong dengan teh yang sama yg ia bawa barusan.

Di jam yang sudah lewat tengah malam, samar-samar kamu mendengar suara ketukan pintu yang lembut. Si tamu tidak ingin membuat keributan di tengah malam, begitu pikirmu.

Kamu beranjak dari sofa nyamanmu dan meninggalkan buku bersampul merah yang mulanya tengah kau baca untuk menghampiri pintu yang diketuk itu.

"Ya, sebentar." Pintu terbuka dan kamu bisa melihat Seonghwa ada di hadapanmu. Wajahnya kusut, rambutnya berantakan dan semua orang dapat dengan jelas melihat rasa lelahnya.

"Aku perlu bantuanmu." Kata Seonghwa.

Kamu mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha mencerna kalimat Seonghwa barusan. Otakmu berpacu dengan cepat, berasumsi hal-hal terburuk mengingat apa-apa saja yang menimpa kalian kurang lebih setengah tahun belakangan.

"Ada apa?" Alismu mengkerut dan tubuhmu otomatis masuk kondisi siaga.

Seonghwa menjelaskan situasi Hongjoong selama tiga hari ini. Bagaimana Hongjoong menolak untuk beranjak dari meja kerjanya, menolak untuk beristirahat, bahkan menolak untuk makan.

Kamu akhirnya mengikuti Seonghwa menuju ke kediamannya. Kamu merasa prihatin terhadap situasi yang dialami Hongjoong. Seingatmu ada seorang pria setengah baya meminta bantuan Hongjoong beberapa bulan yang lalu mengenai putranya. Kamu tidak tahu persisnya tapi baik kamu dan Seonghwa tahu bahwa ini bukanlah kasus yang bisa ditangani sendirian oleh Hongjoong.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Precious Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang