Aroma tumpukkan buku begitu menyeruak ke dalam indra pembau. Kendaraan berlalu-lalang tanpa adanya klakson ataupun kebut-kebutan. Gesekkan kertas menjadi tokoh utama saat ini.
Gadis yang memakai cardigan cokelat ditemani sebotol kopi instan itu kini tengah duduk di kursi baca, dia asyik membolak-balik kertas yang ujungnya telah menguning sembari sesekali berbincang-bincang dengan teman karibnya di Yogyakarta, Ahana, yang memilih menikah muda.
Suaminya, Syafiq, tengah menelepon entah siapa, katanya sahabatnya, yang selama ini tersasar di fakultas teknik.
Detik ini merupakan bulan kedua Shenina mendiami wilayah Yogyakarta, yang berarti sudah dua bulan juga dia melakukan pertukaran pelajar di Universitas Gadjah Mada.
Suara gerungan motor terdengar mendekat, lalu kemudian hilang begitu saja. Vespa biru berhenti di pelataran toko buku bekas berlabel original milik langganan Ahana dan Syafiq.
Seorang laki-laki berpostur tinggi, serta kurus tetapi bukan tipe yang kekurangan gizi muncul secara tiba-tiba.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya sembari menyalami Pakde Garhono dan bertos ria dengan Syafiq.
“Udah nemu apa aja nih di sini? Aku lagi cari Bumi Manusia, langka banget serius udah kayak Badak bercula satu,” ucapnya.
“Biar Pakde yang carikan, iya kan, Pak?” ucap Syafiq yang kemudian dijawab acungan jempol oleh orang yang bersangkutan.
“Karya Pramoedya Ananta Toer kan? Siap bisa diatur,” ucap Pakde Garhono dari arah belakang.
"Kemarin sih udah ketemu, harusnya ada," ucap Pakde Garhono yang lebih terdengar seperti gumaman.
“Nih, kenalin, ini Shenina, siswi pertukaran pelajar dari UI, fakultas Ekonomi dan Bisnis, satu kelas sama Nana,” ucapnya sembari menyebut istrinya dengan panggilan kesayangan.
Shenina kemudian menyatukan tangannya dengan mengucapkan ulang namanya yang tadi disebut oleh Syafiq.
“Raden,” ucapnya dengan menangkupkan kedua tangannya juga seperti Shenina. Selepas perkenalan, laki-laki itu kemudian memilih bergaul dengan Pakde Gar, mintanya dipanggil begitu, biar lebih gaul, katanya.
Shenina menatap laki-laki itu dengan tatapan bingung, sayangnya kegiatannya dipergoki oleh Ahana.
“Lihatin apa, nih? Raden, ya? Jaga mata.” Peringat Ahana, lantas, Shenina pun beristigfar, walaupun dia sebenarnya melihat Raden hanya karena dirinya merasa seperti pernah bertemu dengannya. Lebih dari sekali.
“Enggak begitu, Han. Gue seperti pernah ketemu sama dia aja gitu,” balas Shenina.
“Perasaan mukanya Mas Raden gak pasaran banget deh. By the Way Mas Raden masih ada keturunan darah biru, dari Ibunya. Terus nikah sama anak Kyai, dari Kediri. Jangan tanya kenapa mukanya seperti ada ras Cina, Nenek dari Ayahnya itu, mualaf Tionghoa,” lanjut Ahana menjelaskan.
Shenina hanya mengangguk, terjawab sudah kegusarannya. Walaupun, jawaban itu belum sepenuhnya menjawab pertanyaan yang ada di kepalanya.
“Kamu tahu, Shen? Ini anak sebenarnya jiwanya sastra banget, tetapi gak tau deh kok bisa nyasar di teknik sipil,” ucap Syafiq tiba-tiba. Shenina hanya tersenyum saja sebagai jawaban.
“Shen, katanya kamu pengen nerbitin buku? Ini tanya aja sama Mas Raden,” lanjut Ahana dengan suara keras yang yang membuat Shenina ingin protes kepada Ahana saat itu juga.
“Yang anak sastra memang aku, tetapi kenalanku kalah banyak sama Gus satu ini. Kalau boleh hiperbola nih, di pelosok Yogyakarta kayaknya pada kenal semua deh sama orang ini,” ucap Syafiq yang benar-benar hiperbola. Mendengar penurutan teman-temannya, Raden kemudian unjuk bicara, duduk di samping Syafiq yang tengah duduk di sebelah Ahana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunflowers
Teen FictionDia menyukai buku, dia menyukai kata selamat, dan dia menyukai sunflower. Perjalanan hidupnya mungkin terlihat 'beruntung', namun, coba tanyakan kepada Tuhan, apa yang diambil dari hidupnya di balik itu semua? Dia yang takut akan dunia luar, sampai...