Part One

81 52 13
                                    

Aster membuka mata, mengedarkan pandangan ke seluruh ruang. Warna putih yang mendominasi menyambutnya, disusul dengan pekatnya bau obat yang memenuhi indra penciumannya. Tirai jendela berwarna krem beberapa kali tersingkap membuat celah sinar matahari masuk, namun yang Aster rasakan hanya hawa dingin yang menusuk kulit dari pendingin ruangan. Tenggorokan Aster terasa tercekat, pahit memenuhi langit-langit mulutnya. Tubuhnya kaku tak bisa digerakkan.

"Aster... Aster membuka matanya." Aster mengalihkan atensi pada sumber suara yang baru saja menyapa telinganya—Mamanya.

Aster ingin menjawabnya, alih-alih hanya membuka mulut tanpa ada suara yang keluar.

Ma...

"Dokter, dokter!" Wanita paruh baya itu memanggil dokter seraya jarinya menekan beberapa kali tombol diatas ranjang tempat tidur putrinya.

Tak lama seorang dokter datang dengan beberapa alat-alat medis. Aster dapat mendengar dokter itu memanggil namanya. Lalu sinar terang dari senter kecil menyorot memenuhi pengelihatan Aster. Dokter itu tengah melakukan pemeriksaan menyeluruh kepada Aster.

Aster belum bisa mendengar keseluruhan pembicaraan dokter itu dengan orang tuanya, tapi ia bisa melihat air mata yang mengalir deras dari kedua sudut mata Ibunya.

Mengapa?

Pertanyaan itu terlintas dalam benaknya. Namun kemudian Ayahnya ganti mendatanginya, menggenggam tangan kanannya dengan erat.

"Jangan takut, semua akan baik-baik saja." Edward membisikkan kalimat itu beberapa kali di telinga. Aster tidak mengerti, namun dia tau bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi padanya. Melihat bagaimana Ibunya histeris dan wajah kuyuh dari Ayahnya.

**

Beberapa waktu dalam berbaring dan keadaan lemahnya, Aster selalu mencoba merangkai apa yang terjadi padanya dari ekspresi orang-orang di sekitarnya. Ingatan melemparnya pada kecelakaan yang dia alami beberapa waktu lalu, Aster tak dapat memperhitungkan berapa lama waktu ia terbaring dalam keadaan menyedihkan ini. Namun, pasti cukup lama kerena Aster dapat merasakan seluruh otot-otot persendiannya yang mulai kaku.

Aster mencoba untuk bangun, cukup sulit. Sampai-sampai Eva—Ibunya segera berlari untuk membantunya.

"Aku kenapa?" Aster baru mengeluarkan suaranya. Eva mencelus mendengar pertanyaan itu juga merasa bingung harus menjawab apa.

"Aster, jangan takut. Sesulit apapun kedepannya Mama akan selalu bersamamu." Ucap Eva dengan nada bergetar.

Aster tidak mengerti dengan ucapan Eva, apa yang terjadi denganya mengapa Eva berkata seperti itu.

"Sebenarnya ada apa?" Tanya Aster kepada Eva.

Eva semakin tak tahan menyimpan air matanya, namun Aster harus menghadapi kenyataannya. Jadi tengan tangan yang gemetar hebat Eva membuka selimut yang menutupi kaki Aster.

"Ka.. kaki.. kaki mu,-" Eva terisak tak dapat meneruskan kalimatnya.

Hidung Aster astrigen, rasa panas menjalar memenuhi matanya. Tanpa perlu mendengar kalimat selanjutnya Aster sudah dapat menebaknya, sesuatu yang buruk terjadi pada kakinya. Namun separah apa?

"Sebenarnya kakimu hancur." Tangisan Eva tak bisa dibendung lagi, jika saja Ia bisa menggantikan posisi Aster pada saat itu, maka Ia akan menggantinya.

Pikiran Aster berkecamuk, ini semua tidak nyata. Beberapa saat yang lalu ia bahkan masih bisa berjalan. Tapi... kecelakaan itu Aster juga mengingatnya. Lelucon macam apa ini.

"Tidak mungkin... tidak mungkin... Tidak!!!" Aster terus meracau, hingga diujung kalimatnya sebuah lengkingan histeris menyedihkan menyayat hati Eva atau siapapun yang mendengarnya.

Dear DaisyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang