43. Duda si overthinking

9.3K 737 80
                                    

Happy Reading



***


Pagi itu Zea sedang mengemaskan rumah karena permintaan ayahnya. Ayah Ubay mengatakan jika nanti ada kolega bisnisnya yang akan datang ke rumah untuk membicarakan pekerjaan. Zea sudah tidak asing lagi dengan itu karena dulu juga pernah meski yang datang hanya beberapa orang saja. Mungkin yang datang hanya orang-orang tertentu yang sudah ayah Ubay percayai.

Waktu yang Zea habiskan tidak terlalu lama karena dia hanya membereskan yang tampak sedikit berantakan. Zea dan sang bunda juga bahkan sudah memasak untuk makan siang. Saat pekerjaannya sudah selesai, bertepatan dengan terdengarnya suara bel rumah. Gadis itu segera masuk ke dalam kamar, membiarkan Bunda Hasna yang ikut menyambut tamu. Dia tidak mau tahu siapa kolega ayahnya karena menurutnya itu tidak terlalu penting baginya.

Hampir 2 jam lamanya Zea mengurung diri di dalam kamar. Pintu kamarnya tiba-tiba diketuk. Zea menghentikan acara berselancar di media sosial kemudian beranjak menuju pintu.

''Kenapa, Bun?'' seru Zea menatap sang bunda yang berdiri di depan pintu kamarnya setelah dia membukanya.

''Ayah nyuruh turun ke bawah,'' jawab Bunda Hasna yang diangguki oleh Zea.

Gadis itu keluar dari kamar dan menutup pintunya. Dia menggandeng lengan Bunda Hasna mengajaknya menuruni anak tangga beriringan. ''Tamu ayah sudah pulang?'' Sudah hampir 2 jam dan Zea pikir tamu ayahnya sudah pulang.

''Tadi sudah.''

''Tadi sudah? Gimana tuh, Bun?'' celetuk Zea merasa bingung. Tadi tamu ayahnya sudah pulang? Maksud dari konsep itu seperti apa? 

''Pulang sebentar buat ngambil laptopnya,'' sahut Bunda Hasna. 

''Berarti masih di sini dong?''

''Iya, makanya ayah kamu ngajak makan siang bareng. Selesai makan siang nanti Bunda mau jemput adek kamu.''

Zea manggut-manggut mengerti. ''Kenapa gak izinin bawa motor sendiri sih, Bun? Kalau gitu terus yang ada Bunda capek karena bolak-balik dari antar sampai jemput. Akbar juga sudah gede, bentar lagi naik ke kelas sembilan. Itu si Alana juga sudah bawa motor sejak awal masuk SMP.'' Gadis itu mendadak teringat dengan Alana yang sekarang saja sudah diperbolehkan membawa sepeda motor ke mana-mana.

''Selagi Bunda bisa dan mampu kenapa enggak? Kalau untuk bawa motor sendiri ke sekolah itu lebih baik kalau sudah masuk SMA. Toh kamu dulu juga begitu. Untuk Alana, dia kan gak ada yang antar jemput. Kalau untuk mengantarnya sih bisa bareng papanya, tapi, kalau pulangnya sama siapa? Nah, sementara Bunda kan di rumah aja gak ada kerjaan selain beres-beres.''

''Pesan Bunda, kalau nanti kamu sudah menikah dan punya anak. Anak kamu jangan dibolehin dulu bawa motor sendiri sebelum dia masuk SMA. Kalau untuk belajar dan bawa ke tempat yang dekat sih gak apa-apa. Bukannya apa, sekarang banyak anak-anak yang SD aja sudah bawa motor sendiri. Di usia begitu sebenarnya gak dibolehin. Emosi yang belum stabil bisa berbahaya karena bisa memicu kecelakaan atau bahkan tawuran liar,'' sambung Bunda Hasna dengan rentetan sudut pandang darinya. Memang sebagian besar itu benar. 

Emosi yang belum stabil bisa memicu sebuah kecelakaan. Ditegur dengan cara membunyikan klakson saja sudah ada yang marah dan mengejar si pengendara lalu berakhir dengan pertengkaran. Belum lagi jika ada pengendara yang tiba-tiba menyalip tanpa melihat kondisi jalanan. Parahnya lagi ada yang menjadikan jalan raya sebagai tempat untuk adu kecepatan dan ada yang menunjukkan kesombongannya seolah dia adalah pembalap profesional. Keren baginya, tapi, tidak di mata orang lain. Yang terpenting, anak di usia seperti itu belum mengerti banyak tentang peraturan lalu lintas dan keselamatan.

Perfect DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang