SEDERHANA NAMUN ISTIMEWA

4 3 0
                                    

Semoga pada mega yang sama, ketika kau embukan pelan-pelan;
Harapan yang kau citakan-
Tertaut namaku ikut kau sertakan.

Sebab disini,
Disemestaku yang masih kelabu;
Aku merayakan-
Merayakan kepingan-kepingan awal kebahagiaan.

-Bumi

Seperti kata Bumi, "bukalah dan baca sebelum kamu tidur, ini hadiah pertama dari pacarmu sebagai awal untuk kebahagian." Dan benar saja sepenggal puisi pada selembar kertas itu berhasil menerbitkan bulan sabit dibibir Alana.

Alana membaringkan tubuhnya sambil menatap langit-langit kamarnya yang berwana putih. Dengan berbekal selembar kertas berisi puisi buatan Bumi, Alana ingin memulai membalas setiap puisi yang diberikan padanya. Ingin menuliskan seberapa menyenangkannya sosok Bumi, ingin membagikan bagaimana rasanya menjadi gadis yang bahagia karena tersihir setiap harinya. Dengan panggilan Ann sebagai panggilan milik biru seorang. Sebuah pulpen yang ada diatas meja belajarnya mulai ia gerakan, rangkaian kata yang ia siapkan sebagai balasan mulai merambat diselembar kertas puisi pemberian Bumi.

Dan dimega yang sama, ketika harapan yang pelan-pelan kau panjatkan.

Telah kutautkan namamu yang kau minta sertakan.

Terimakasih, telah membuat semestaku menjadi menyenangkan.

Akan ikut kurayakan juga-

Hari-hari menyenangkan selanjutnya yang akan kau berikan.

-Alana

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu membuat Alana melepaskan pulpen dan kertas dari tangannya, beranjak dari posisinya menuju pintu yang menunggu untuk dibuka. Ketika dibuka, Alana menatap sosok yang ingin menemuinya, Bumi?

"B-umi? Ngapain?" tanya Alana cukup terkejut. Entah bagaimana caranya Bumi bisa masuk kerumahnya dilarut malam seperti ini.

"Aku melupakan sesuatu."

"Apa?"

"Aku lupa untuk mengatakan semoga engga mimpi buruk pada pacarku."

"H-hahh? Kamu kan sudah punya nomorku, Bumi." Alana cukup tak percaya, Bumi jauh-jauh datang kerumahnya larut malam seperti ini hanya untuk mengatakan itu?

"Semoga engga mimpi buruk, Alanaku." Ucap Bumi lembut sambil menyentil hidung mancung Alana dan mengelus-ngelus kepalanya, sebelum pergi meninggalkan Alana yang masih mematung dengan debaran gila karena ulahnya.

"Terima kasih. Semoga ngga mimpi buruk juga, Bumi." Batin Alana sebelum Bumi pergi meninggalkannya.

*****

Pukul 06.00

Pagi itu suasana meja makan Alana cukup berbeda, biasanya meja makan itu hanya dihiasi masakan yang telah siap dan ibunya yang sudah menunggu disana. Namun sekarang pandangan Alana tercuri pada sosok yang entah sejak kapan sudah duduk dan makan tanpa diundang.

"Kok kamu ada disini?" Alana menatap aneh lelaki yang sudah duduk dan makan terlebih dulu dimeja makan itu. Pagi ini gadis itu sudah rapi dengan seragam yang dihiasi cardigan warna biru muda sebagai outernya. Rambut panjang seperti biasa ia kuncir kuda dengan tas kecil merah yang sudah ia gendong dipunggungnya.

"Makanlah." Ucap Bumi tak tau malu seakan dialah tuan rumah disana.

"Ini rumahku, bukan rumahmu." Jawab Alana ketus.

"Hussst... masih pagi jangan judes-judes ah ke pacarnya." Ucap Haifa yang sengaja menggoda putrinya.

"IHHHH... Ko ibu tau?" Alana melebarkan matanya kaget, padahal Alana ingin ia sendiri yang menceritakan pada ibunya. Ah terlambat.

"Apa sih yang engga ibu tau?" Ucap Haifa, sengaja menggoda. Haifa memanglah bukan tipe ibu yang protekif terhadap anak gadisnya. Selagi hal yang dilakukan Alana membuatnya bahagia ia pasti mendukungnya.

"Ahh... ibu ngga asik." Ucap Alana sambil mengerucutkan bibinya, matanya menajam ia sorotkan. Bukan untuk ibunya melainkan untuk tamun tak di undang yang sudah merusak suasana harmonis meja makan di rumahnya.

"Selain enak di makan, buatan tante juga enak untuk di pandang ternyata." Ucap Bumi.

"Kalo cuma di pandang aja mah atu sayang. Mubazir, pamali." Balas Haifa.

"Ini juga ke banyakan di pandang tante. Jadinya kan saya sayang."

"Bisa aja nih anak muda."

Sarapan pagi ini terasa sangat istimewa bagi Bumi. Meja makan dan menu sarapan yang tampak sedernaha justru menyajikan suasana baru yang belum pernah Bumi rasakan sebelumnya, membahagiakan, menenangkan. Pagi ini juga menjadi hari pertama bagi Bumi dan Alana untuk berlayar mengarungi perahunya, memulai lembaran-lembaran baru yang menyenangkan.

"Ayoo... Ann, sudah siap?"

"Ayo, Bumi." Balas Alana yang sudah keluar dari kamarnya.

"Makasih banyak untuk sarapannya dan telah melahirkan gadis secantik Alana, tante. Saya Bumi izin untuk mengantar Alana berangkat dan pulang sekolah nanti." Ucap Bumi lantang, tanpa keraguan. Alana yang mendengarnya hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Sama-sama, Bumi. Hati-hati dijalannya, jangan ngebut-ngebut." Balas haifa dengan senyuman hangatnya.

"Siap, tante!" Ucap Bumi dengan tangan sikap hormat dan langsung mencium tangan haifa untuk pamit, di susul oleh Alana yang melakukan hal yang sama.

Motor yang mereka kendarai melaju menembus jalanan pagi yang menyejukan. Suasana pagi ini memang terasa sangat nyaman, jalanan belum terlalu ramai, di tambah sang mentari yang masih malu-malu menunjukan sinarnya serupa yang sedang di alami Alana.

"Pegangan, nanti jatuh." Ucap Bumi yang langsung mencuri tangan Alana untuk memeluk tubuhnya.

Modus basi, namun berhasil membuat kemerahan terbit di sudut pipi Alana. Kerja jantungnya sudah tak beraturan, namun ia tetap lanjutkan. Melanjutkan modus Bumi yang ternyata disukai olehnya, memeluk Bumi yang sudah jadi miliknya.

"Kamu tau, Ann? Kenapa mentari belum menunjukan dirinya saat ini?" Ucap Bumi sedikit menaikan volume suaranya agar dapat terdengar oleh Alana.

"Karena masih terlalu pagi?"

"Salah! Karena ia tidak mau mengganggu sepasang kekasih baru yang sedang jatuh cinta, ia hanya berani menunjukan sedikit sinarnnya untuk melengkapi kenyamanan yang ada di antara kita."

"Apasih... nggak nyambung!"

"HAHAHAHA"

"Kamu di beri bekal oleh ibumu, Ann?" lanjut Bumi.

"Yaa iyaalah, kalo engga istirahat aku makan apa, Bumi."

"Baguslah." Ucap Bumi yang langsung melipirkan motornya di bahu jalan. "Sebentar, jangan dulu nyontek." Lanjutnya sebari mengeluarkan selembar kertas dan pulpen dari dalam tasnya. Jarinya mulai menari di atas selembar kertas menulis bait demi bait dengan sesekali melirik ke arah Alana.

"Nih... bekal tambahan dariku." Ucap Bumi yang telah menyelasikan tulisannya dan langsung memberikannya pada Alana.

"Bekal dariku memang tidak bisa mengenyangkan perutmu. Namun bisa mengenyangkan senangmu." Lanjut Bumi.

"Ayoo... naik, Ann. Mau kesiangan?" Lanjut Bumi lagi yang masih melihat Alana mematung kebingungan memandangi kertas di genggamannya.

"A-iyaa, ayoo."

"Buka bekal dariku saat kamu sudah makan saja, Ann. Supaya waktu istirahatmu bisa kenyang dan juga senang."

"Makasih, Bumi. Kapan-kapan aku buatkan juga bekal untumu nanti."

"Aku tunggu, Ann."

To be continued!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MembumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang